I.
Pendahuluan
Tuhan
Yang Maha Esa adalah Brahman, merupakan asal dari semua yang adayang pernah ada
dan yang akan ada, baik yang bersifat nyata (sekala) amaupun yang sersifat
tidak nyata (niskala). Alam semesta jagad raya ini adalah ciptaan Tuhan,
sebagai wujud nyata akan kemaha beradaan Tuhan. Alam semesta jagad raya ini
sangat luas bahkan tiada ujung akhir dan pangkalnya, namun ada di dalam Tuhan. Sejauh-jauh
kita memandang, sejauh apapun kita menghayalkan tentang luasnyaalam semesta
ini, masih tetap tak terbayangkan. Dilangit kita melihat bintang dengan
ggugusannya, diatas bintang masih ada langit dengan gugusan bintang-bintangnya.
Miliaran bintang baik yang terlihat maupun yang tidak dapat dilihat, galaksi
yang nampak sebagai gugusan bintang-bintang,
dan planet-planet yang mengorbit pada masing-masing bintang atau tata
surya itu tidak terlihat karena jaraknya yang sangat jauh. Alam semesta yang penuh
rahasia dengan luas yang tiada batasnya ini mengandung rahasia Ilahi yang tak
terjangkau oleh alam pikir manusia, walau dibantu dengan tehnologi secanggih
apapun. Demikian maha agung dan maha luasnya alam semesta jagad raya ini
sebagai wujud nyata adanya Sang Pencipta Yang Maha Agung yang menciptakan
segala yang ada di alam semesta ini.
Setelah
memahami kemaha agungan Tuhan Yang Maha Esa, selanjutnya bagaimana metode
mendekatkan diri kehadapan-Nya, sehingga keberadaan Tuhan betul-betul dirasakan
dan rasa sujud bakti selalu menggema dalam diri. Banyak jalan yang ditempuh
oleh umat manusia untuk melakukan pendekatan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa.
Banyak agama dengan sekte-sektenya dan aliran kepercayaan yang mengajarakan
berbagai cara untuk umat manusia mendekatkan diri dan menempuh jalan ketuhanan.
Secara bersama-sama dalm kelompoknya sebagai kelompok masyarakat, agama, sekte
maupun aliran kepercayaan melakukan kegiatan ritual keagamaan dalam berbagai
jenis acara dan upacara. Seperti dalan agama Hundu muncul beberapa Sekte yang
dikenal dengan Sekte Bhakti, Sekte Wisnu,
Sekte Siwa, Sekte Sakti
II.
Sekte-sekte
dalam Agama Hindu
a.
Sekte Bhakti
Sekitar tahun
500 SM, muncul beberapa kecenderungan “pemujaan”, pelayanan atau kebaktian yang
mencakup pengertian percaya, taat dan berserah diri kepada dewa. Pemujaan dan
kebaktian kepada dewa itu dinyatakan dalam puja yang perwujudannya
kadang-kadang dinyatakan dengan mempersembahkan berbagai macam buah-buahan dan
bunga-bungaan kepada para dewa disertai dengan penyelenggaraan upacara
mengitari kuil-kuil tertentu. Puja dan bhakti tersebut dilakukan dengan hidmat
dan sikap badan tertentu, seperti sikap merebahkan dan meniarapkan diri di
dekat patung yang terdapat dalam kuil atau tempat-tempat yang dianggap suci
lainnya sambil mengucapkan beberapa doa.[1]
Urain tentang
bhakti terdapat dalam kitab Narada Bhakti
Sutra dan Shadilya Sutra. Kitab
ini banyak membicarakan wawasan keagamaan pada sekte bhakti yang terdapat di
India. Menurut sutra-sutra tadi, bhakti bukannya merupakan suatu “pengetahuan”
dan juga bukan merupakan “perbuatan ritus”, juga bukan merupakan “sistem
keagamaan”, tetapi merupakan kasih sayang, ketaatan, kepatuhan dan penyerahan
diri kepada sesuatu. Bhakti adalah “pasrah” setulus-tulusnya (prapatti) bukan
kepada suatu objek yang bersifat duniawi tetapi hanya kepada “dewa” semata
dengan segenap avatara atau ingkarnasinya. Karena itu barang kali ada benarnya
kalau dari pengertian di atas dikatakan bahwa bhakti lebih tinggi daripada
meditasi falsafi.[2]
Wujud bhakti
memiliki jenjang istilah maupun sikap sebagai tatakrama mewujudkan rasa bhakti
yang beretika. Istilah bhakti itu diantaranya:[3]
Menghormati
adalah pencetus bhakti terhadap semua makhluk, terhadap semua ciptaan Tuhan
baik yang nyata maupun tidak nyata. Kita patut saling hornat menghormati sesama
makhluk hidup, sesama ciptaan Tuhan yang mana masing-masing ciptaan-Nya itu
telah memiliki hukumnya masing-masingyang seharusnya berjalan selaras dengan
perputaran roda hukumnya masing-masing.
Memuja adalah
wujud bhakti dalam bentuk lamtunan puji-pujian yang ditujukan kepada kebesaran
Tuhan baik dalam bentuk manifestasi-Nya atau sifat-sifat ketuhananyang memberi
berkah-Nya pada kebutuhan hidup ini. Puji-pujian yang dikidungkan dalam
pemujaan adalah untuk ymenyenangkan yang dipuja, mewujudkan rasa senang dan
rasa tenang dalam kebahagiaan.
Berdoa adalah
wujud bhakti yang dilakukan dalam menyampaikan permohonan kehadapan-Nya. Atas
ketidak mampuan dan keterbatasan kita wajib berdoa agar diberkati dan diampunu
segala dosa serta kekurangan- kekurangan kita.berdoa adalah sebagai wujud
rendah hati, sebagai wujud kesadaran
akan keterbatasan kita sebagai manusia.
Menyembah
adalah bentuk bhakti sebagai penyerahan diri yang dilakukan dengan tulus dan
penuh kepasrahan terhadap kemaha agungan Tuhan.
b.
Sekte Wisnu
Sekte ini lebih
mmengutamakan pemujaan kepada dewa Wisnu karena dewa ini sangat sympatik bagi
mereka dengan sifat-sifatnya yang berdasar pada perasaan bhakti (cinta).
Pandangan pengikutnya
antara lain menyatakan bahwa kebaikan Wisnu dengan Bhaktinya ialah yang dapat
memberikan jaminan kedamaian hidup bagi uumat pemujanya, karena itu cukuplah
bagi pengikut-pengikutnya untuk menyerahkan diri saja kepada-Nya.
Sikap penyerahan diri
kepada-Nya akan membawa mereka kepada Nirwana. Segala kebaikan bhakti Wisnu itu
dilukiskan dengan panjang lebar dalam sucinya yaitu kitab Purana
Didalam kitab tersebut
diceritakan bagaimana manifestasi can kebaikan bhakti Wisnu dalam usahanya
menolong ummat manusia dari segala bentuk kehancuran dan kejahatan. Dengan
jelma (melakukan avatara) menjadi berbagai makhluk ajaib dalam 10 rupa, maka
kehancuran dan kejahatan dapat dihindari.
Kesepuluh avatara
tersebut adalah:[4]
(1)
Matsyavatara, berupa ikan besar
untuk menolong manusia pada saat banjir besar melanda dunia yang akan
menenggelamkannya.
(2)
Kurnavatara, sebagai kura-kura
untuk menolong dewa-dewa pada waktu mengaduk samudera guna mendapatkan air
amerta (air hidup) yakni air yang bilamana diminum orang akan mengalami hidup
kekal abadi.
(3)
Narashimha, sebagai singa yang
berbadan manusia yang membunuh raksasa yang tidak bisa dibunuh olehsiapapun.
(4)
Varahavatara, sebagai babi rusa
yang menolong manusia dengan menggigit bumi yang pada saat itu akan dibawa
karpatala (neraka dibawah bumi) oleh musuh-musuh manusia.
(5)
Vamanavatara, sebagai oarang
cebol yang dapat mengalahkan cucu raksasa yang bernama Narashinka. Cucu raksasa
tersebut bernama Bali (Daitya Bali)
(6)
Budhavatara, sebagai budha yang
bertugas melemahkan musuh-musuh dewa yang menyebarkan ilmu palsu.
(7)
Parasuramvatara, sebagai kesatrya
yang bersenjatakan parasu ( kampak) membunuh beberapa kesatrya yang menghina
ayahnya, sebagai pembalasan atas penghinaan tersebut.
(8)
Ramavatara, rama sebagai
kesatrya, anak Dasarata yang dibuang kehutan belantara, dimana ia kehilangan
isterinya Shinta, karena perbuatan Dasamuka (Rahmana) yang berwatak rakus dan
yang menganiaya ummat manusia. Akhirnya Rama dapat membunuh Rahwana serta dapat
merebut kembali isterinya, (cerita tentang Rama tersebut diuraikan dalam kitab
Ramayana).
(9)
Kalkiavara, sebagai Kalki ( Ratu
Adil) yang dapat mmententramkan dunia yang mengalami kekacauan akibat perbuatan
makhluk-makhluk jahat di dunia.
(10) Kresnavatara,
sebagai Kresna yang kemudian membunuh Raja Kamsa (seorang raja Mathura
kemenakan Kresna).
Semua avatara
Wisnu tersebut merupakan salah satu gambaran simbolis yang mencerminkantentang
kebenaran kepercayaan Wisnuisme kepada adanya “juru selamat” di dunia dan
manusia dari kehancuran hidupnya.
Wisnu biasanya dibedakan
menjadi 4 sampradaya pokok atau sekte,
diantaranya yang sangat kuno adalah Sri
Sampradaya yang diperkenalkan oleh Ramanuja
Acarya, kira-kira pertengahan abad ke-12. Para Pengikut Ramanuja memuliakan Wisnu dan Laksmi beserta inkarnasinya, mereka
disebut pengikut Ramanuja atau Sri Sanpradayin atau Sri Waisnawa.[5]
c.
Sekte Siwa
Penganut Hindu dari sekte Siwa meyakini Tuhan adalah
Siwa. Salah satu bentuk pemujaan Siwa yang dilakukan oleh pada Pendeta Siwa
adalah dengan mengucapkan mantra yang disebut sebagai Mantra Catur Dasa Siwa,
yakni empat belas wujud Siwa.[6]
Mantra ini digunakan untuk mendapat pengaruh
ke-Tuhan-an yang kuat dan suci serta untuk mendapat kebahagian sekala-niskala.
Mantra itu sebagai berikut:
- Om Ang
Prasada Kala Siwaya namah
- Om Ang
Stiti Kala Siwaya namah
- Om Ang
Kala-kutha Siwaya namah
- Om Ang
Maha-suksma Siwaya namah
- Om Ang
Suksma Siwaya namah
- Om Ang
Anta-kala Siwaya namah
- Om Ang
Adhi-kala Siwaya namah
- Om Ang
Parama Siwaya namah
- Om Ang
Ati–suksma Siwaya namah
- Om Ang
Suksma-tara Siwaya namah
- Om Ang
Suksma-tama Siwaya namah
- Om Ang
Sada Siwaya namah
- Om Ang
Parama Siwaya namah
- Om Ang
Sunia Siwaya namah
Pendeta Siwa yang mengucapkan dan meresapkan Mantra
Catur Dasa Siwa ingin mendudukkan Siwa dalam tubuh/ dirinya mulai dari bagian
bawah tubuh sampai ke bagian atas tubuh, yakni:
- Mantra
nomor 1 untuk kaki kanan
- Mantra
nomor 2 untuk kaki kiri
- Mantra
nomor 3 untuk perut
- Mantra
nomor 4 untuk pusar
- Mantra
nomor 5 untuk hati
- Mantra
nomor 6 untuk tangan kanan
- Mantra
nomor 7 untuk tangan kiri
- Mantra
nomor 8 untuk mata kanan
- Mantra
nomor 9 untuk mata kiri
- Mantra
nomor 10 untuk telinga kanan
- Mantra
nomor 11 untuk telinga kiri
- Mantra
nomor 12 untuk sela-sela alis
- Mantra
nomor 13 untuk ujung hidung
- Mantra
nomor 14 untuk ubun-ubun
Pemeluk-pemeluk aliran
ini sangat optimis terhadap kebulatan kekuasaan dewa Siwa ini, karena ia
dipercayai dapat menjelma menjadi berbagai bentuk kedewataan yang menggambarkan
akan kekuasaannya yang besar. Kekuasaannya meliputi: penentuan hidup dan
matinya manusia dan kekuasaannya adalah yang tertinggi diantara dewa-dewa.
Pada masa permulaan Agama
Hindu, Siwa tidak pernah dipuji orang sebagaimana halnya Wisnu. Sebagai tanda
kekuasaannya dewa ini digambarkan secara fantastis dengan tangan empat.
Bilamana ia sedang menjadi Siwa Maha Dewa (Maheswara) maka tak ada dewa atupun
yang dapat mengalahkan kekuasaannya. Bilamana ia sedang menjelma menjadi dewa
Maha Guru maka Siwa adalah sebagai oarang tua berjanggut yang saleh dan suka
membimbing manusia ke arah hidup bahagia. Sebagai ciri watak-wataknya sebagai
guru, dia disimbulkan dalam bentuk orang yang membawa kendi, sapu lalat
(cemara) dan tasbih ( akshamala). Tetapi bilamana ia sedang menjelma menjadi
Mahakala, maka watak serta sikapnya dilukiskan sebagai raksasa yang buas
merusak apa yang dikehendaki dan kejam. Oleh karena itu sebagai tanda pada Kroda (amarahnya) diberi simbol Parasu (Kanpak), Trisula (lembing dengan tiga mata). Dan Fesu (jaring).[7]
Jadi keistimewaan Dewa
Siwa ini adalah dapat mempunyai watak/sifat-sifat pribadi yang satu sama lain
kadang-kadang berlawanan. Dalam pemujaan-pemujaan demikian mereka memberikan
korban-korban dan saji-sajian setiap waktu tertentu dibawah pimpinan
pendeta-pendetanya.
d.
Sekte Sakti
Sebenarnya
aliran ini masih dapat dimasukkan sebagai bagian dari aliran Siwa, tetapi
karena yang disembah dan dipuji bukan lagi Siwa melainkan saktinya dalam bentuk
Darga, dan karena lebih luasdan lebih mendalam, maka lebih tepat kalau dianggap
sebagai salah satu aliran keagamaan tersendiri dalam agama Hindu. Sakti adalah
kekuatan, prinsip aktif yang menyebabkan Siwa mampu menciptakan. Tanpa Sakti
tersebut Siwa tidak akan dapat berbuat apa-apa karena Siwa adalah prinsip
pasif. Karena itu Sakti menjadi lebih penting daripada Siwa sendiri. Segala
sesuatu terjadi karena bersatunya prinsip pasif dengan prinsip aktif. Yaitu
persatuan Siwa dengan Saktinya, Durga.[8]
Persatuan
antara Siwa dan Saktinyaadalah persatuan antara laki-laki dan perempuan, yang
dilambangkan sebagai Linga dan Yoni. Karena itu hubungan seks mempunyai arti
yang ssangat penting dalam sekte Sakti ini. Karena segala sesuatu tercipta
melalui persatuan tersebut, maka egala sesuatau mengandung kekuatan dan Sakti
Siwa. Bentuk-bentuk tertentu dari Sakti dan segala sesuatu adalah baik; tidak
ada yang tidak baik. Hanya orang yang tidak mengerti saja yang beranggapan
bahwa ada yang baik dan ada yang tidak baik. Ini keliru, karena anggapan itu
hanya didasarkan pada kesadaran manusia sendiri. Untuk mencapai kebenaran dan
kelepasan (moksa) manusia harus melepaskan diri dari belenggu kekeliruan ini.
Ia harus melepaskan kesadarannya sendiri sehingga dapat menyadari kebenaran
bahwa segala sesuatuadalah perwujudan dari Sakti dan Siwa, dan bahwa semua
adalah baik.[9]
e.
Sekte Tantra
Aliran ini
dalan usaha mencapai Nirwana lebih mementingkan cara penbacaan manter-mantera
rahasia dan membebaskan ruang gerak hawa nafsu. Dalam kitab Tantrisme yang
disebut kitab “AGAMA” dan “TANTRA” dinyatakan bahwa “Hendaknya manusia jangan
mengekang hawa nafsunya tetapi sebaliknya hawa nafsu harus dibebaskan dan
diberi kepuasan. Dengan demikian, maka jiwa manusia menjadi merdeka dari segala
tekanan-tekanan psikisnya”.
Cara-cara
yang ditempuh ialah menjalankan 5 (lima) “ma” yang terdiri dari Matsya: makan ikan sebanyak-banyaknya. Mada: meminum tuak sebanyak mungkin. Mansa: makan daging sebanyak-banyaknya.
Mudra: makan sejenis nasi
(padi-padian) sebanyak-banyaknya. Akhirnya Mauethua:
melepaskan nafsu birahi sebanyak-banyaknya dengan wanita.[10]
Dengan
kepuasan nafsu tersebut, manusia dapat melepaskan diri dari samsara. Adapun
sistem ajaran Tantrayana tersebut diberikan dalam bentuk percakapan antara Siwa
dengan Durga (isteri Siwa).
III.
Kesimpulan
Sebagai
yang terdapat dalam agama-agama besar lainnya, dalam agama hindi juga terdapat
aliran-aliran atau Sekte-sekte yang masing-masing mempunyai konsep tersendiri
dalam nenanggapi beberapa segi ajaran agama yang dipandang lebih penting
daripada ajaran pokoknya.
Daftar
Pustaka
Ali,
Mukti. Agama-Agama di Dunia. Yogyakarta:
IAIN Sunan Kalijaga Press. Cet ke- I 1988.
Arifin. Menguak Misteri Alaran Agama-agama Besar.
Madra, I Ketut. Tuhan Siva dan Pemujaannya. Surabaya:
Paramita, 2007
Parbasana, I Noman. Panca Sradha: Sebagai Dasar Kepercayaan yang Universal. Denpasar:
Widya Dharma, 2009
Sivananda, Sri Swami. Intisari Ajaran Hindu. Surabaya: Paramita, 2003
[1] H.A.
Mukti Ali. Agama-agama dunia (Yogyakarta:
IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988) h. 76
[2] Ibid., hal., 76
[3] I Nyoman
Parbasan. Panca sradha: Sebagai
Dasar Kepercayaan (Denpasar: Widya Dharma, 2009) h. 65
[4] Arifin. Menguak
Misteri Ajaran Agama-agama Besar (Jakarta: PT. Golden Trayon Press,
1986) h. 84
[5] Sri
Swami Siwanada. Intisari ajaran hindu (Surabaya: PARAMITA, 2003) h. 144
[7] Arifin. Menguak
Misteri Ajaran Agama-agama Besar (Jakarta: PT. Golden Trayon Press,
1086) h. 86
Apakah ada buku tentang sekte waisnawa?
BalasHapus