Jumat, 16 November 2012

SEKTE-SEKTE DALAM AGAMA HINDU



I.                   Pendahuluan
            Tuhan Yang Maha Esa adalah Brahman, merupakan asal dari semua yang adayang pernah ada dan yang akan ada, baik yang bersifat nyata (sekala) amaupun yang sersifat tidak nyata (niskala). Alam semesta jagad raya ini adalah ciptaan Tuhan, sebagai wujud nyata akan kemaha beradaan Tuhan. Alam semesta jagad raya ini sangat luas bahkan tiada ujung akhir dan pangkalnya, namun ada di dalam Tuhan. Sejauh-jauh kita memandang, sejauh apapun kita menghayalkan tentang luasnyaalam semesta ini, masih tetap tak terbayangkan. Dilangit kita melihat bintang dengan ggugusannya, diatas bintang masih ada langit dengan gugusan bintang-bintangnya. Miliaran bintang baik yang terlihat maupun yang tidak dapat dilihat, galaksi yang nampak sebagai gugusan bintang-bintang,  dan planet-planet yang mengorbit pada masing-masing bintang atau tata surya itu tidak terlihat karena jaraknya yang sangat jauh. Alam semesta yang penuh rahasia dengan luas yang tiada batasnya ini mengandung rahasia Ilahi yang tak terjangkau oleh alam pikir manusia, walau dibantu dengan tehnologi secanggih apapun. Demikian maha agung dan maha luasnya alam semesta jagad raya ini sebagai wujud nyata adanya Sang Pencipta Yang Maha Agung yang menciptakan segala yang ada di alam semesta ini.
            Setelah memahami kemaha agungan Tuhan Yang Maha Esa, selanjutnya bagaimana metode mendekatkan diri kehadapan-Nya, sehingga keberadaan Tuhan betul-betul dirasakan dan rasa sujud bakti selalu menggema dalam diri. Banyak jalan yang ditempuh oleh umat manusia untuk melakukan pendekatan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa. Banyak agama dengan sekte-sektenya dan aliran kepercayaan yang mengajarakan berbagai cara untuk umat manusia mendekatkan diri dan menempuh jalan ketuhanan. Secara bersama-sama dalm kelompoknya sebagai kelompok masyarakat, agama, sekte maupun aliran kepercayaan melakukan kegiatan ritual keagamaan dalam berbagai jenis acara dan upacara. Seperti dalan agama Hundu muncul beberapa Sekte yang dikenal dengan Sekte Bhakti, Sekte Wisnu, Sekte Siwa, Sekte Sakti  
II.                Sekte-sekte dalam Agama Hindu
a.       Sekte Bhakti
Sekitar tahun 500 SM, muncul beberapa kecenderungan “pemujaan”, pelayanan atau kebaktian yang mencakup pengertian percaya, taat dan berserah diri kepada dewa. Pemujaan dan kebaktian kepada dewa itu dinyatakan dalam puja yang perwujudannya kadang-kadang dinyatakan dengan mempersembahkan berbagai macam buah-buahan dan bunga-bungaan kepada para dewa disertai dengan penyelenggaraan upacara mengitari kuil-kuil tertentu. Puja dan bhakti tersebut dilakukan dengan hidmat dan sikap badan tertentu, seperti sikap merebahkan dan meniarapkan diri di dekat patung yang terdapat dalam kuil atau tempat-tempat yang dianggap suci lainnya sambil mengucapkan beberapa doa.[1]
Urain tentang bhakti terdapat dalam kitab Narada Bhakti Sutra dan Shadilya Sutra. Kitab ini banyak membicarakan wawasan keagamaan pada sekte bhakti yang terdapat di India. Menurut sutra-sutra tadi, bhakti bukannya merupakan suatu “pengetahuan” dan juga bukan merupakan “perbuatan ritus”, juga bukan merupakan “sistem keagamaan”, tetapi merupakan kasih sayang, ketaatan, kepatuhan dan penyerahan diri kepada sesuatu. Bhakti adalah “pasrah” setulus-tulusnya (prapatti) bukan kepada suatu objek yang bersifat duniawi tetapi hanya kepada “dewa” semata dengan segenap avatara atau ingkarnasinya. Karena itu barang kali ada benarnya kalau dari pengertian di atas dikatakan bahwa bhakti lebih tinggi daripada meditasi falsafi.[2]
Wujud bhakti memiliki jenjang istilah maupun sikap sebagai tatakrama mewujudkan rasa bhakti yang beretika. Istilah bhakti itu diantaranya:[3]
Menghormati adalah pencetus bhakti terhadap semua makhluk, terhadap semua ciptaan Tuhan baik yang nyata maupun tidak nyata. Kita patut saling hornat menghormati sesama makhluk hidup, sesama ciptaan Tuhan yang mana masing-masing ciptaan-Nya itu telah memiliki hukumnya masing-masingyang seharusnya berjalan selaras dengan perputaran roda hukumnya masing-masing.
Memuja adalah wujud bhakti dalam bentuk lamtunan puji-pujian yang ditujukan kepada kebesaran Tuhan baik dalam bentuk manifestasi-Nya atau sifat-sifat ketuhananyang memberi berkah-Nya pada kebutuhan hidup ini. Puji-pujian yang dikidungkan dalam pemujaan adalah untuk ymenyenangkan yang dipuja, mewujudkan rasa senang dan rasa tenang dalam kebahagiaan.
Berdoa adalah wujud bhakti yang dilakukan dalam menyampaikan permohonan kehadapan-Nya. Atas ketidak mampuan dan keterbatasan kita wajib berdoa agar diberkati dan diampunu segala dosa serta kekurangan- kekurangan kita.berdoa adalah sebagai wujud rendah hati, sebagai wujud  kesadaran akan keterbatasan kita sebagai manusia.
Menyembah adalah bentuk bhakti sebagai penyerahan diri yang dilakukan dengan tulus dan penuh kepasrahan terhadap kemaha agungan Tuhan.
b.      Sekte Wisnu
Sekte ini lebih mmengutamakan pemujaan kepada dewa Wisnu karena dewa ini sangat sympatik bagi mereka dengan sifat-sifatnya yang berdasar pada perasaan  bhakti (cinta).
Pandangan pengikutnya antara lain menyatakan bahwa kebaikan Wisnu dengan Bhaktinya ialah yang dapat memberikan jaminan kedamaian hidup bagi uumat pemujanya, karena itu cukuplah bagi pengikut-pengikutnya untuk menyerahkan diri saja kepada-Nya.
Sikap penyerahan diri kepada-Nya akan membawa mereka kepada Nirwana. Segala kebaikan bhakti Wisnu itu dilukiskan dengan panjang lebar dalam sucinya yaitu kitab Purana
Didalam kitab tersebut diceritakan bagaimana manifestasi can kebaikan bhakti Wisnu dalam usahanya menolong ummat manusia dari segala bentuk kehancuran dan kejahatan. Dengan jelma (melakukan avatara) menjadi berbagai makhluk ajaib dalam 10 rupa, maka kehancuran dan kejahatan dapat dihindari.
Kesepuluh avatara tersebut adalah:[4]
(1)   Matsyavatara, berupa ikan besar untuk menolong manusia pada saat banjir besar melanda dunia yang akan menenggelamkannya.
(2)   Kurnavatara, sebagai kura-kura untuk menolong dewa-dewa pada waktu mengaduk samudera guna mendapatkan air amerta (air hidup) yakni air yang bilamana diminum orang akan mengalami hidup kekal abadi.
(3)   Narashimha, sebagai singa yang berbadan manusia yang membunuh raksasa yang tidak bisa dibunuh olehsiapapun.
(4)   Varahavatara, sebagai babi rusa yang menolong manusia dengan menggigit bumi yang pada saat itu akan dibawa karpatala (neraka dibawah bumi) oleh musuh-musuh manusia.
(5)   Vamanavatara, sebagai oarang cebol yang dapat mengalahkan cucu raksasa yang bernama Narashinka. Cucu raksasa tersebut bernama Bali (Daitya Bali)
(6)   Budhavatara, sebagai budha yang bertugas melemahkan musuh-musuh dewa yang menyebarkan ilmu palsu.
(7)   Parasuramvatara, sebagai kesatrya yang bersenjatakan parasu ( kampak) membunuh beberapa kesatrya yang menghina ayahnya, sebagai pembalasan atas penghinaan tersebut.
(8)   Ramavatara, rama sebagai kesatrya, anak Dasarata yang dibuang kehutan belantara, dimana ia kehilangan isterinya Shinta, karena perbuatan Dasamuka (Rahmana) yang berwatak rakus dan yang menganiaya ummat manusia. Akhirnya Rama dapat membunuh Rahwana serta dapat merebut kembali isterinya, (cerita tentang Rama tersebut diuraikan dalam kitab Ramayana).
(9)   Kalkiavara, sebagai Kalki ( Ratu Adil) yang dapat mmententramkan dunia yang mengalami kekacauan akibat perbuatan makhluk-makhluk jahat di dunia.
(10)  Kresnavatara, sebagai Kresna yang kemudian membunuh Raja Kamsa (seorang raja Mathura kemenakan Kresna).
Semua avatara Wisnu tersebut merupakan salah satu gambaran simbolis yang mencerminkantentang kebenaran kepercayaan Wisnuisme kepada adanya “juru selamat” di dunia dan manusia dari kehancuran hidupnya.
Wisnu biasanya dibedakan menjadi 4 sampradaya pokok atau sekte, diantaranya yang sangat kuno adalah Sri Sampradaya yang diperkenalkan oleh Ramanuja Acarya, kira-kira pertengahan abad ke-12. Para Pengikut Ramanuja memuliakan Wisnu dan Laksmi beserta inkarnasinya, mereka disebut pengikut Ramanuja atau Sri Sanpradayin atau Sri Waisnawa.[5]



c.       Sekte Siwa
Penganut Hindu dari sekte Siwa meyakini Tuhan adalah Siwa. Salah satu bentuk pemujaan Siwa yang dilakukan oleh pada Pendeta Siwa adalah dengan mengucapkan mantra yang disebut sebagai Mantra Catur Dasa Siwa, yakni empat belas wujud Siwa.[6]
Mantra ini digunakan untuk mendapat pengaruh ke-Tuhan-an yang kuat dan suci serta untuk mendapat kebahagian sekala-niskala.
Mantra itu sebagai berikut:
  1. Om Ang Prasada Kala Siwaya namah
  2. Om Ang Stiti Kala Siwaya namah
  3. Om Ang Kala-kutha Siwaya namah
  4. Om Ang Maha-suksma Siwaya namah
  5. Om Ang Suksma Siwaya namah
  6. Om Ang Anta-kala Siwaya namah
  7. Om Ang Adhi-kala Siwaya namah
  8. Om Ang Parama Siwaya namah
  9. Om Ang Ati–suksma Siwaya namah
  10. Om Ang Suksma-tara Siwaya namah
  11. Om Ang Suksma-tama Siwaya namah
  12. Om Ang Sada Siwaya namah
  13. Om Ang Parama Siwaya namah
  14. Om Ang Sunia Siwaya namah
Pendeta Siwa yang mengucapkan dan meresapkan Mantra Catur Dasa Siwa ingin mendudukkan Siwa dalam tubuh/ dirinya mulai dari bagian bawah tubuh sampai ke bagian atas tubuh, yakni:
  1. Mantra nomor 1 untuk kaki kanan
  2. Mantra nomor 2 untuk kaki kiri
  3. Mantra nomor 3 untuk perut
  4. Mantra nomor 4 untuk pusar
  5. Mantra nomor 5 untuk hati
  6. Mantra nomor 6 untuk tangan kanan
  7. Mantra nomor 7 untuk tangan kiri
  8. Mantra nomor 8 untuk mata kanan
  9. Mantra nomor 9 untuk mata kiri
  10. Mantra nomor 10 untuk telinga kanan
  11. Mantra nomor 11 untuk telinga kiri
  12. Mantra nomor 12 untuk sela-sela alis
  13. Mantra nomor 13 untuk ujung hidung
  14. Mantra nomor 14 untuk ubun-ubun
Pemeluk-pemeluk aliran ini sangat optimis terhadap kebulatan kekuasaan dewa Siwa ini, karena ia dipercayai dapat menjelma menjadi berbagai bentuk kedewataan yang menggambarkan akan kekuasaannya yang besar. Kekuasaannya meliputi: penentuan hidup dan matinya manusia dan kekuasaannya adalah yang tertinggi diantara dewa-dewa.
Pada masa permulaan Agama Hindu, Siwa tidak pernah dipuji orang sebagaimana halnya Wisnu. Sebagai tanda kekuasaannya dewa ini digambarkan secara fantastis dengan tangan empat. Bilamana ia sedang menjadi Siwa Maha Dewa (Maheswara) maka tak ada dewa atupun yang dapat mengalahkan kekuasaannya. Bilamana ia sedang menjelma menjadi dewa Maha Guru maka Siwa adalah sebagai oarang tua berjanggut yang saleh dan suka membimbing manusia ke arah hidup bahagia. Sebagai ciri watak-wataknya sebagai guru, dia disimbulkan dalam bentuk orang yang membawa kendi, sapu lalat (cemara) dan tasbih ( akshamala). Tetapi bilamana ia sedang menjelma menjadi Mahakala, maka watak serta sikapnya dilukiskan sebagai raksasa yang buas merusak apa yang dikehendaki dan kejam. Oleh karena itu sebagai tanda pada Kroda (amarahnya) diberi simbol Parasu (Kanpak), Trisula (lembing dengan tiga mata). Dan Fesu (jaring).[7]
Jadi keistimewaan Dewa Siwa ini adalah dapat mempunyai watak/sifat-sifat pribadi yang satu sama lain kadang-kadang berlawanan. Dalam pemujaan-pemujaan demikian mereka memberikan korban-korban dan saji-sajian setiap waktu tertentu dibawah pimpinan pendeta-pendetanya.
d.      Sekte Sakti
Sebenarnya aliran ini masih dapat dimasukkan sebagai bagian dari aliran Siwa, tetapi karena yang disembah dan dipuji bukan lagi Siwa melainkan saktinya dalam bentuk Darga, dan karena lebih luasdan lebih mendalam, maka lebih tepat kalau dianggap sebagai salah satu aliran keagamaan tersendiri dalam agama Hindu. Sakti adalah kekuatan, prinsip aktif yang menyebabkan Siwa mampu menciptakan. Tanpa Sakti tersebut Siwa tidak akan dapat berbuat apa-apa karena Siwa adalah prinsip pasif. Karena itu Sakti menjadi lebih penting daripada Siwa sendiri. Segala sesuatu terjadi karena bersatunya prinsip pasif dengan prinsip aktif. Yaitu persatuan Siwa dengan Saktinya, Durga.[8]
Persatuan antara Siwa dan Saktinyaadalah persatuan antara laki-laki dan perempuan, yang dilambangkan sebagai Linga dan Yoni. Karena itu hubungan seks mempunyai arti yang ssangat penting dalam sekte Sakti ini. Karena segala sesuatu tercipta melalui persatuan tersebut, maka egala sesuatau mengandung kekuatan dan Sakti Siwa. Bentuk-bentuk tertentu dari Sakti dan segala sesuatu adalah baik; tidak ada yang tidak baik. Hanya orang yang tidak mengerti saja yang beranggapan bahwa ada yang baik dan ada yang tidak baik. Ini keliru, karena anggapan itu hanya didasarkan pada kesadaran manusia sendiri. Untuk mencapai kebenaran dan kelepasan (moksa) manusia harus melepaskan diri dari belenggu kekeliruan ini. Ia harus melepaskan kesadarannya sendiri sehingga dapat menyadari kebenaran bahwa segala sesuatuadalah perwujudan dari Sakti dan Siwa, dan bahwa semua adalah baik.[9]
e.       Sekte Tantra
Aliran ini dalan usaha mencapai Nirwana lebih mementingkan cara penbacaan manter-mantera rahasia dan membebaskan ruang gerak hawa nafsu. Dalam kitab Tantrisme yang disebut kitab “AGAMA” dan “TANTRA” dinyatakan bahwa “Hendaknya manusia jangan mengekang hawa nafsunya tetapi sebaliknya hawa nafsu harus dibebaskan dan diberi kepuasan. Dengan demikian, maka jiwa manusia menjadi merdeka dari segala tekanan-tekanan psikisnya”.
Cara-cara yang ditempuh ialah menjalankan 5 (lima) “ma” yang terdiri dari Matsya: makan ikan sebanyak-banyaknya. Mada: meminum tuak sebanyak mungkin. Mansa: makan daging sebanyak-banyaknya. Mudra: makan sejenis nasi (padi-padian) sebanyak-banyaknya. Akhirnya Mauethua: melepaskan nafsu birahi sebanyak-banyaknya dengan wanita.[10]
Dengan kepuasan nafsu tersebut, manusia dapat melepaskan diri dari samsara. Adapun sistem ajaran Tantrayana tersebut diberikan dalam bentuk percakapan antara Siwa dengan Durga (isteri Siwa).


III.             Kesimpulan
Sebagai yang terdapat dalam agama-agama besar lainnya, dalam agama hindi juga terdapat aliran-aliran atau Sekte-sekte yang masing-masing mempunyai konsep tersendiri dalam nenanggapi beberapa segi ajaran agama yang dipandang lebih penting daripada ajaran pokoknya.
Daftar Pustaka
Ali, Mukti. Agama-Agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press. Cet ke- I 1988.
Arifin. Menguak Misteri Alaran Agama-agama Besar.
Madra, I Ketut. Tuhan Siva dan Pemujaannya. Surabaya: Paramita, 2007
Parbasana, I Noman. Panca Sradha: Sebagai Dasar Kepercayaan yang Universal. Denpasar: Widya Dharma, 2009
Sivananda, Sri Swami. Intisari Ajaran Hindu. Surabaya: Paramita, 2003



[1] H.A. Mukti Ali.  Agama-agama dunia (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988) h. 76
[2] Ibid., hal., 76
[3] I Nyoman Parbasan. Panca sradha: Sebagai Dasar Kepercayaan (Denpasar: Widya Dharma, 2009) h. 65
[4] Arifin. Menguak Misteri Ajaran Agama-agama Besar (Jakarta: PT. Golden Trayon Press, 1986) h. 84
[5] Sri Swami Siwanada. Intisari ajaran hindu (Surabaya: PARAMITA, 2003) h. 144
[7] Arifin. Menguak Misteri Ajaran Agama-agama Besar (Jakarta: PT. Golden Trayon Press, 1086) h. 86
[8] H.A. Mukti Ali.  Agama-agama dunia (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988) h. 85
[9] H.A. Mukti Ali.  Agama-agama dunia (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988) h. 85
[10] Arifin. Menguak Misteri Ajaran Agama-agama Besar (Jakarta: PT. Golden Trayon Press) h. 88

1 komentar:

Popular Posts