Yoga merupakan salah satu jalan untuk memperoleh penyatuan dengan Tuhan
melalui latihan yang sangat keras dan teratur, sehingga apa yang menjadi tujuan
kita tercapai. Yoga bukan merupakan tradisi yang mati, yang kemudian stagnan
tanpa perubahan, melainkan selalu berubah dan dieksplorasi oleh para pelakunya,
sehingga senantiasa menghasilkan perubahan yang dianggap lebih efektif. Ada
banyak aliran dalam yoga, karena yoga bukan merupakan satu kesatuan utuh.
Melainkan pendapat dan latihan setiap alirannya berbeda dan tidak dapat
didamaikan. Jadi, ketika kita berbicara tentang yoga, artinya kita membicarakan
tentang banyak aliran dalam yoga. Satu aliran yang paling senior, terkenal dan
berpengaruh adalah aliran Patanjali yang dikenal dengan Raja Yoga. Dan aliran
ini yang akan kami bicarakan di sini, karena jika harus menguraikan perdebatan
berbagai aliran, akan sangat menyita waktu.
Patanjali, dalam Kita Yoga Sutras, memuat penjelasan tentang delapan aspek
yoga yang dikenal dengan ashtanga-yoga. Kedelapan ruas ini, seringkali
digambarkan sebagai tangga yang membimbing kehiudpan biasa menuju realisasi
Diri dan melampaui personalitas ego.
Delapan jalan menuju ‘penyatuan’ Asthanga-yoga dan Etika dalam ajaran Yoga
Tujuan Yoga
ialah untuk mengembalikan Citta[1] itu dalam
keadaannya yang semula, yang murni tanpa perubahan, sehingga dengan demikian purusa[2]
itu dibebaskan dari kesengsaraannya.[3] Sementara
menurut Matius Ali, Tujuan Yoga Patanjali adalah mencapai kebebasan melalui
konsentrasi dan Samadhi. Istilah teknis untuk pencapaian ini adalah
‘pembebasan’ (kaivalya). [4] Menurut Sri
Aurobindo, Raja-Yoga bertujuan untuk mencapai pembebasan dan penyempurnaan diri
mental, yakni pengendalian seluruh perangkat pencerapan, emosi, pikiran dan
kesadaran. [5]
Mahārși Patañjalidalam kitab Yoga
Sutrasmenyusun ‘8 ruas yoga’ (Asthanga-yoga) sebagai sebuah metode
spiritualitas praktis dalam Yoga Sutras (2.29).[6]
1.
Disiplin Moral (Yama)
2.
Disliplin Diri (Niyama)
3.
Postur Tubuh (asana)
4.
Pengendalian Napas (pranayama)
5.
Pengendalian Indera (Pratyahara)
6.
Konsentrasi (Dharana)
7.
Meditasi (Dhyana)
8.
Ekstasis (Samadhi)
Agar purusa
itu bisa dilepaskan dari ikatan prakrti[7],
orang harus dapat menindas wrtti[8] itu, yaitu
dengan meniadakan klesa-klesa. Sebab klesa itu mewujudkan satu fungsi yang
menjadi dasar pembentukan karma, yang menimbulkan awidya atau ketidak-tahuan. Di dalam kehidupan kejiwaan manusia,
terdapat suatu perputaran yang tidak putus, yaitu perputaran wrtti, kecenderungan-kecenderungan, klesa-klesa, awidya dan seterusnya.
Tujuan Yoga ialah untuk mematahkan perputaran yang tidak putus ini, dengan
perlahan-lahan meniadakan klesa-klesa
dan memberhentikan wrtti. Hal ini
hanya dapat diwujudkan melalui usaha (abhyasa)
yang terus-menerus dan keadaan tanpa nafsu (wairagya).
Manusia dapat melepaskan diri dari nafsu melalui usaha dan latihan yang panjang
sehingga dapat membedakan antara pribadi dengan yang bukan pribadi, melalui asthanga-yoga.[9]
Harun
Hadiwijono menyusun asthanga-yoga dalam skema sistematis seperti berikut:
Delapan aspek asthanga-yoga ini dapat dibagi menjadi
dua bagian yang besar, yaitu: pertama,mulai dari yama sampai pratyahara
disebut pertolongan-pertolongan yang tak langsung atau yang dari luar (bahiranga); dan mulai dari dharana sampai Samadhi, yang disebut pertolongan-pertolongan yang langsung dari
dalam (antaranga).[10]
Kedelapan
aspek yoga tersebut dapat dilihat dari dua perspektif, yakni: pertama, sebagai
unifikasi kesadaran yang tumbuh; kedua, sebagai pemurnian diri yang progresif.
Kedua sudut pandang ini tercermin dalam Yoga-Sutras. [11]
1. Disiplin Moral atau Pengekangan Diri (Yama)
Definisi Yama yang dijelaskan dalam Yoga Sutras
(2.30): “Yama teridiri atas tanpa kekerasan, kebenaran, tidak mencuri, selibat
dan ketidak-tamakan (ahimsa satyasteya
bramacaryaparigraha yamah). Seperti juga semua spiritualitas otentik,
fondasi yoga dibangun atas sebuah etika universal. Karenanya, ruas pertama yoga
Patanjali bukanlah postur tubuh atau meditasi, melainkan disiplin moral (yama).[12]
Kelima bagian Yama adalah:
a.
Tanpa kekerasan (ahimsa)
Dari
semua kewajiban moral, ‘tidak menyakiti’ adalah yang paling utama. Kata ahimsa
seringkali diterjemahkan sebagai tidak membunuh, namun ini tidak memberikan
arti yang penuh dari kata ahimsa. Dalam Yoga Sutras (2.35), ahimsa
didefinisikan sebagai:
“Jika ahimsa sudah dilaksanakan
secara mantap, maka semua kebencian akan terhenti.”[13]
Sebenarnya
ahimsa adalah ‘tanpa kekerasan’ baik di dalam pikiran maupun dalam tindakan.[14] Ia menjadi
dasar dari disiplin yang lain. Keinginan untuk tidak menyakiti yang lain bersumber
dari dorongan kea rah unifikasi dan tansendensi sang ego. [15]
b.
Kebenaran (satya)
‘Kebenaran’ (satya) seringkali
ditinggalkan dalam literatur etika dan yoga. Karena bagi orang yang sudah
menjalankan kebenaran, kejujuran, semua tindakan serta akibatnya akan tunduk
padanya. Dalam Yoga Sutras dikatakan bahwa:
“Bagi orang
yang sudah menjalankan kebenaran dan kejujuran, semua tindakan serta akibatnya
ada di bawah kendali dirinya.”[16]
Satya yaitu jujur baik dalam perkataan maupun dalam pikiran. [17]
c.
Tidak Mencuri (Asteya)
‘Tidak mencuri’ (asteya) terkait erat dengan ahimsa, karena
pemilikan benda berharga secara tidak benar, melanggar hak orang yang ia curi.
Menurut Yoga Sutras, asteya dapat didefinisikan:
“Jika asteya sudah ditanamkan, maka semua kekayaan akan
datang.” [18]
d.
Kesucian-Kemurnian
atau mengendalikan nafsu jasmani dan nafsu asmara (brahmacarya)
‘Selibat’ (brahmacarya) secara harfiah berarti ‘tingkah laku
Brahmana’ merupakan hal penting yang inti dalam kebanyakan tradisi spiritual
dunia, walaaupun ditafsirkan secara berbeda. Dalam Yoga Sutras (2.38)
Brahmacarya dijelaskan sebagai berikut:
“Dengan menjalankan brahmacarya, orang
mendapatkan kekuatan.” [19]
Dalam sistem Yoga, selibat didefinisikan dalam istilah
asketisme yakni menahan diri dari aktivitas seksual, baik dalam perbuatan
maupun dalam pikiran. Secara umum, rangsangan seksual dianggap menghambat
dorongan ke arah pencerahan.
e.
Ketidaktamakan
(Aparigraha)
‘Ketidaktamakan’ (aparigraha) didefinisikan sebagai ‘tidak
menerima hadiah’, karena hadiah tersebut menimbulkan keterikatan serta rasa
takut akan kehilangan. Jadi, para yogi dianjurkan untuk menumbuhkan
kesederhanaan dengan sengaja. Terlalu banyak kepemilikan akan mengganggu
pikiran. Penyangkalan diri (renunciation) merupakan sebuah aspek integral dari
kehidupan seorang Yogi. Yoga Sutras (2.39) memberikan definisi aparigraha
sebagai berikut:
“jika aparigraha sudah tertanam, maka
akan datang sebuah iluminasi menyeluruh tentang bagaimana dan mengapa seseorang
dilahirkan.” [20]
Jika diikuasai sepenuhnya, maka masing-masing dari kelima
keutamaan dapat membeirkan kekuatan paranormal (siddhi). Sebagai contoh,
penguasaan ahimsa akan menciptakan aura kedamaian di sekitar diri sang yogi
yang dapat menetralisir semua rasa permusuhan serta penguasaan kebencian.
Melalui kebenaran (satya) seorang praktisi yoga mendapatkan
kekuatan dengan selalu mewujudkan kata-katanya. Penguasaan keutamaan ‘tidak
mencuri’ (asteya) mendatangkan segala macam harta tanpa usaha yang keras,
sedangkan ‘ketidaktamakan’ (aparigraha merupakan kunci untuk memahami kelahiran
mereka sekarang, masa depan dan sebelumnya. [21]
2. Disiplin Diri (Niyama)
Ruas kedua Raja-yoga Patanjali, yakni: ‘disliplin
diri’ (niyama), bertujuan untuk
mengendalikan energi psiko-fisis yang ditimbulkan dari pengendalian diri
kehidupan batin para yogi. Jika kelima disiplin moral (yama) bertujuan mengatur latihan displin yang teratru sebagai unsur
konstitutif keselarasan dengan dengan manusia lain, maka kelima aturan
‘disiplin diri’ (niyama) bertujuan
menyelaraskan hubungan kelima disiplin diri dengan kehidupan secara menyeluruh
dan dengan Realitas Transendental.[22]
Dalam Yoga-Sutras (2.32) Niyama dijelaskan sebagai:
“Niyama terdiri atas kemurnian diri, berpuas diri, askese,
studi teks spiritual dan penyerahan diri pada Tuhan.”
Kelima latihan niyama adalah:
1.
Kesucian atau
kemurnian (shauca)
‘Kemurnian diri’ (sauca) merupakan kata kunci dalam
spiritualitas yoga. Karenanya, tidaklah mengherankan bahwa kemurnian diri
termasuk dalam daftar pertama dari kelima disiplin diri. Dalam Yoga Sutras (2.40) dijelaskan:
“Melalui pemurnian diri timbul kemuakan terhadap tubuh
sendiri dan terhadap sentuhan dari tubuh yang lain.”[23]
2.
Berpuas Diri
(Samtosha)
Berpuas diri artinya tidak menginginkan lebih dari apa yang
sudah dimiliki. Karena itu, berpuas diri merupakan keutamaan yang bertentangan
dengan mentalitas konsumerisme modern yang didorong oleh kebutuhan untuk selalu
mendapatkan lebih dari mengisi kekosongan batin. Berpuas diri adalah ungkapan
dari penyangkalan diri, yakni
pengorbanan secara sukarela akan apa yang menurut takdir akan diambil dari kita
pada saat kematian. Samtosha membuat para yogi mengalami keberhasilan atau
kegagalan, susah atau senang dengan ketenangan hati. [24]
Dalam Yoga Sutras (2.42) samtosha dijelaskan sebagai:
“Dengan berpuas
diri, kegembiraan tertinggi dicapai”[25]
Di sini, kita harus mengerti perbedaan antara ‘berpuas diri’
(contentment) dengan ‘kepuasan diri’ (satisfaction). Berpuas diri artinya
menjadi diri kita seperti apa adanya, tanpa mencari kebahagiaan dari
benda-benda di luar. Jika sesuatu datang, kita biarkan ia datang. Jika tidak,
ya tidak masalah. Berpuas diri artinya bersikap apa adanya, yakni tidak
menyukai dan juga tidak membenci.
3.
Askese (Tapas)
Askese merupakan unsur atau komponen ketiga dari niyama dan mencakup latihan, seperti:
berdiri atau duduk diam dalam waktu lama; menahan kelaparan, kehausan serta
panas dan dingin, berdiam diri, serta berpuasa. Kata tapas berarti ‘berkilau’,
‘panas’ dan merujuk pada energi psikosomatis yang dihasilkan dari latihan
asketisme yang seringkali dialami sebagai rasa panas. Para yogi menggunakan
energi ini utuk memanaskan kawah energi tubuh dan pikiran mereka, sampai
menghasilkan kesadaran yang lebih luhur.
Dalam Yoga Sutras (3.46) tapas dijelaskan:
“Sebagai hasil latihan samyama akan datang, pencapaian anima
serta kekuatan lain, seperti kesempurnaan tubuh, menjadi kebal terhadap umur
tertentu” (Y.S. 3.46)
Askese tidak boleh dikacaukan dengan penyiksaan diri. Dalam Bhagavad-Gita (17.14-19), dibedakan tiga
macam asketisme, tergantung pada kecenderungan dari ketiga kualitas alam (gunas):
“Penyembahan pada dewa-dewa, terhadap sulinggih, para guru
dan orang bijaksan, kesucian, kejujuran, brahmachari, ahimsa, hal-hal ini
disebut ujian (tapas) atas tubuh”. (Gita. 17.14)
“Ucapan kata-kata yang tidak menyakitkan hati, bebas dari
hinaan, yang mengandung kebenaran, menyenangkan dan bermanfaat dan pengucapan
Weda dengan teratur, inilah yang disebut ujian (tapas) dari ucapan” (Gita.
17.15)
“Ketenangan pikiran, kelemah-lembutan, baik hati, pendiam,
penguasaan diri, kesucian hati, ini disebut pertapaan pikiran” (Gita. 17.16)
“Ketiga macam pertapaan yang dilakukan dengan kepercayaan
yang teguh oleh mereka yang pikirannya kuat untuk tidak menghendaki buahnya,
dikatakan sattwika, baik” (Gita. 17.17)
“Pertapaan yang dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan
kehormatan, dan hanya sebagai pameran belaka, dikatakan Rajasika, dan adalah
goyah dan tidak panjang umurnya” (Gita. 17.18)
“Pertapaan yang dilakukan dengan kebodohan, keras kepala
dengan jalan penyiksaan diri dan untuk menyakiti orang lain adalah Tamasika,
bodoh” (Gita. 17.19)
4.
Studi Teks
Spiritual (Svadhyaya)
‘Studi teks spiritual’ merupakan komponen keempat dari niyama
yang merupakan latihan yoga yang penting. Kata svadhyayayang dibangun dari kata sva yang berarti ‘sendiri’ dan
adhyaya, artinya ‘masuk ke dalam’. Kata ‘studi’ merujuk pada pencarian makna
tersembunyi dari teks kitab suci. Tujuan svadhyaya bukanlah sebuah pembelajaran
intelektual, melainkan penerapan ke dalam kearifan kuno. Svadhyaya merupakan
sebuah renungan meditatif mengenai kebenaran yang dibukakan oleh para Rishi dan
arif bijaksana yang telah berjalan ke wilayah di mana pikiran tidak dapat
mengikuti serta hanya hati yang menerima. Dalam Yoga Sutras (2.44) dikatakan
bahwa:
“Dengan
mempelajari teks-teks spiritual, akan terjadi penyatuan dengan dewa-dewi yang
disembah”. [26]
5.
Penyerahan diri
pada Tuhan (Ishwara-pranidhana)
Unsur terakhir dari Niyama adalah Ishwara-pranidhana, artinya
penyerahan diri secara menyeluruh kepada Tuhan (Ishwara).[27]
Dalam Yoga Sutras dijlaskan bahwa:
“ Melalui
penyerahan diri secara menyeluruh, samadhi dicapai”
Ishwara adalah salah satu dari Diri transendental yang satu
dan banyak (purusha). Menurut definisi yang diberikan Patanjali, status Ishwara
yang luar basa diantara banyak diri disebabkan oleh fakta bahwa Ia tidak akan
pernah tunduk pada ilusi yang menghilangkan kemahatahuan serta
kemahahadiran-NYa. DIri bebas yang lain, pernah sekali waktu mengalami
kehilangan kemahatahuan dan kemaha-hadiran-Nya ketika mereka menganggap diri
mereka sebagai sebuah personalitas egois partikular atau tubuh-pikiran
terbatas. Secara inheren, semua diri adalah bebas, namun hanya Ishwara yang
sadar akan kebenaran ini.
3. Postur Tubuh (asana)
Secara harfiah, kata asana
berarti ‘dudukan’. Kedua komponen dari ‘delapan ruas yoga’ (ashtanga yoga)
Patanjali, yakni yama dan niyama, berfungsi mengatur kehidupan sosial serta
personal para praktisi yoga. Yama dan niyama adalah sebuah usaha untuk
mengurangi terjadinya keinginan serta tindakan tidak baik, sehingga tidak
menambah timbunan karma buruk yang baru dalam kehidupan ini.
Tujuan dari latihan yama dan
niyama adalah untuk menghilangkan semua karma, yaitu semua penyebab subliminal
yang tertanam di dalam jiwa (psyche).
Untuk mewujudkan sebuah transformasi kesadaran, seorang yogi harus menciptakan
kondisi lingkungan yang benar, baik di dalam maupun di luar diri. Yama-niyama
merupakan langkah awal untuk untuk menciptakan kondisi lingkungan yang benar,
sedangkan latihan berbagai postur tubuh (asanas) adalah sebuah usaha untuk
mengangkat tubuh ke tahap berikutnya. Secara esensial, asanas adalah sebuah
latihan untuk memurnikan dan mendiamkan tubuh fisik. Dalam Yoga Sutras (2.46),
dikatakan bahwa:
“Postur tubuh haruslah dalam kondisi stabil dan
enak”.
Dengan melipat anggota
tubuhnya, para yogi segera mencapai perubahan suasana dan ketenangan dalam
batin. Ketenangan ini membantu untuk mempermudah proses konsentrasi pikiran.
Sekelompok asanas membentuk
semacam ‘simbol’ (mudras) yang memiliki makna simbolis. Bentuk mudras ini
memilki potensi kuat untuk mengubah kondisi sang yogi, karena mempengaruhi
sistem kerja kelenjar endokrin tubuh. Namun melalui latihan yang teratur,
praktisi yoga akan dapat menemukan perubahan yang terjadi sebagai akibat dari
asana tertentu. Menurut Patanjali, latihan asanas yang teratur dan benarakan
menghilangkan sensitifitas terhadap dualisme ganda, seperti: panas dan dingin,
terang dan gelap, hening dan ribut.
4. Pengendalian Napas (pranayama)
Kata prana berarti ‘daya
hidup’ (life force), ‘vitalitas’.
Kata prana seringkali diterjemahkan sebagai ‘napas’ (breath) dan ‘hidup’ (life), padahal sebenarnya napas merupakan
sebuah manifestasi luar dari prana, yakni daya hidpu yang menembus serta
menopang semua kehidupan. Pranayama
merupakan komponen ke-empat dari ‘delapan ruas yoga’ Patanjali.
‘Seluruh petualangan yoga
berpuasa pada pengolahan prana’. Ini menunjukkan pentingnya pranayama dalam proses yoga.
Teknik pranayama adalah sebuah
cara sistematis yang dikembangkan oleh para yogi untuk untuk mempengaruhi medan
bioenergi tubuh. Bahkan latihan disiplin moral (yama), pengendalian diri
(niyama), pengendalian indera (pratyahara) dan konsentrasi mental (dharana),
juga merupakan bentuk manipulasi daya prana. Dalam budaya lain, ide tentang bioenergi
prana dikenal sebagai chi di Tiongkok dan mana
di dalam tradisi Polinesia. Para peneliti modern menyebutnya sebagai energi
bioplasma. Para praktisi yoga mengetahui bahwa ada hubungan antara prana,
napas, emosi dan pikiran.
Dalam Yoga Sutras (2.49) dikatakan
bahwa:
“Setelah menguasai asanas, kita harus melatih keluar
masuknya napas”. [28]
5. Pengendalian Indera (Pratyahara)
Latihan asana dan pranayama
menghasilkan sebuah dsensitifikasi yang akan menghentikan ransangan dari luar
diri sang yogi. Kemudian secara berangsur sang yogi dapat hidup dalam
lingkungan batin pikirannya sendiri. Jika kesadaran sudah bisa secara berangsur
sang yogi dapat hidup dalam lingkungan batin pikirannya sendiri. Jika kesadaran
sudah bisa secara efektif membebaskan diri dari pengaruh lingkungan luar, maka
kondisi tersebut pratyahara. Dalam Mahabharata
(12.194.58) dikatakan tentang pratyahara:
“Sang Diri (self)
tidak dapat ditangkap dengan indera yang kacau, terpecah-belah dan terpencar
dan sulit untuk dikenalikan bagi orang
yang belum siap” (Mahabharata
12.194.58)
Dan dalam Yoga Sutras (2.54),
pengendalian indera-indera (pratyahara) dijelaskan sebagai:
“JIka indera-indera menarik diri dari objek (benda-benda) dan
meniru seolah-olah memiliki kodrat materi pikiran, maka inilah yang disebut
pratyahara”. [29]
6. Konsentrasi (Dharana)
‘Konsentrasi’ merupakan proses
lanjutan dari pratyahara. Konsentrasi adalah komponen keenam dari ashtanga-yoga
Patanjali. Konsentrasi dapat didefinisikan sebagai ‘memfokuskan perhatian pada
satu tempat tertentu’ (desha). Tempat
(locus) tersebut dapat merupakan
bagian tertentu dari tubuh, serpeti cakra atau objek eksternal yang diinternalisasikan
seperti imaji seorang dewa-dewi. Istilah yang dipakai oleh Patanjali untuk ‘konsentrasi’ adalah dharana.
Dalam Yoga Sutras (2.53),
dharana dijelaskan sebagai berikut:
“Dan pikiran sudah siap untuk konsentrasi”.
“Dharana
adalah memfokuskan pikiran pada satu tempat, objek atau ide”. (Y.S. 3.1)
7. Meditasi (Dhyana)
Konsentrasi yang diperpanjang
serta mendalam, secara alami akan membimbing seseorang ke kondisi yang disebut
‘meditasi’ (dhyana). Dalam meditasi,
objek atau locus yang diinternalisasikan mengisi seluruh ruang kesadaran. Jika
dalam ‘konsentrasi’ mekanisme utama adalah ‘keterfokusan perhatian’, maka dalam
‘meditasi’ mekanisme yang mendasari proses ini adalah ‘kemengaliran yang
tunggal’ (ekatanata). [30]
Kondisi meditasi tidak
menghilangkan kejernihan pikiran, malah sebaliknya ia memperkuat ke-sadar-an,
walaupun memang tidak ada atau terdapat sedikit sekali kesadaran akan
lingkungan eksternal. Tujuan awal meditasi dalam yoga adalah untuk menahan,
menekan, serta menghentikan modifikasi pikiran (cittas-vritti-nirodhah).
Aktivitas mental tersebut meliputi lima kategori:
1.
Pramana :
pengetahuan yang diperoleh melalui persepsi, penyimpulan atau bukti yang bisa
dipertanggungjawabkan, seperti teks kitab suci.
2.
Viparyaya :
Kesalahpahaman, pengertian yang keliru.
3.
Vikalpa :
pengetahuan konseptual, imajinasi.
4.
Nidra :
tidur
5.
Smriti :
Ingatan.
Dalam kondisi identifikasi
dengan Diri (self), unsur pengaktif yang menyebabkan eksternalisasi kesadaran
dicabut. Ingatan memiliki dua aspek, yakni aspek kasar dan aspek halus. Aspek
kasar dari ingatan dapat dilumpuhkan melalui meditasi, sedangkan aspek halusnya
dapat dinetralkan melalui samadhi suprasadar. Ada 3 tahap proses ‘penghentian’
(nirodha), yakni:
a.
Vritti-nidrodha : penghentian kelima kategori aktivitas mental kasar dalam
meditasi.
b.
Pratyaya-nirodha : penghentian ide (pratyaya) yang muncul dalam berbagai jenis
samadhi sadar (samprajnata-samadhi). Para yogi harus dapat mengatasi pikiran
yang mucnul secara spontan dalam kondisi savitarka-samapatti[31].
Para yogi juga harus mampu melampaui rasa bahagia (ananda) dalam kondisi ananda-samapatti
c.
Samskara-nirodha : penghentian unsur pengaktif batin dalam kondisi samadhi
suprasadar (asamprajnata-samadhi).
Dalam kondisi asmprajnata-samadhi, sang yogi melumpuhkan ingatan batin dengan
potensi laten (vasana), yang selalu menghasilkan aktivita spsikomental baru.
Masalah penghancuran samskara dijelaskan dalam Yoga Sutras
(1.50)
“Kesan (impresi)
yang dihasilkan melalui samadhi akan menghapuskan semua kesan-kesan lainnya.”[32]
8. Ekstasis (Samadhi)
Pada bagian konsentrasi dan
meditasi, sudah dijelaskan bahwa konsentrasi (dharana) mengarah pada meditasi
(dhyana). Kemudian kita akan mleihat bahwa meditasi (dhyana) mengarah pada
penyatuan (samadhi). Kondisi samadhi dapat tercapai jika semua modifikasi
(vritti) dalam kesadaran bangun sudah dihentikan melalui latihan meditasi. Karena itu, konsentrasi, meditasi dan
penyatuan merupakan tiga fase dari satu proses yang berkesinambungan (samyama).
Yoga Sutras memberikan (3.3) memberikan definisi samadhi sebagai:
“samadhi adalah kondisi meditasi yang sama, dimana hanya ada
objek saja, seolah tidak ada bentuknya”.[33]
Samadhi adalah suatu kondisi puncak yang dicapai
melalui sebuah proses disiplin mental yang panjang dan sulit.
Etika Yoga
Secara umum, konsep etika dalam Yoga termasuk dalam latihan yama dan
niyama, yaitu disiplin moral dan disiplin diri. Aturan-aturan yang ada dalam
yama dan niyama, juga berfungsi sebagai kontrol sosial dalam mengatur moral
manusia. Akan tetapi, dalam bukunya Tattwa Darsana, I Gede Rudia menjelaskan
bahwa etika dalam yoga adalah sebagai berikut.
Dalam samadhi, seorang Yogi memasuki ketenangan tertinggi yang
tidak tersentuh oleh suara-suara yang tak henti-hentinya, yang berasal dari
luar dan pikiran kehilangan fungsinya, di mana indera-indera terserap ke dalam
pikiran. Apabila semua perubahan pikiran terkendalikan, si pengamat atau
Purusa, terhenti dalam dirinya sendiri dan di dalam Yoga-Sutra Patanjali disebut sebagai Svarupa Avasthanam (kedudukan dalam diri seseorang yang
sesungguhnya).[34]
Dalam filsafat Yoga, maka yoga berarti penghentian kegoncangan-kegoncangan
pikiran. Ada lima keadaan pikiran itu. Keadaaan pikiran itu ditentukan oleh
intensitas sattwa, rajas dan tamas. Kelima keadaaan pikiran itu
adalah:
1.
Ksipta artinya tidak diam-diam
Dalam keadaan pikiran itu
diombang-ambingkan oleh rajas dan tamas, dan ditarik-tarik oleh objek indriya
dan sarana-sarana untuk mencapaInya, pikiran melompat-lompat dari satu objek ke
objek yang lain tanpa terhenti pada satu objek. [35]
2.
Mudha artinya lamban dan malas
Ini idsebabkan oleh pengaruh
tamas yang menguasai alam pikiran. Akibatnya orang yang alam pikirannya demikian cenderung bodoh, senang
tidur dan sebagainya.
3.
Wiksipta artinya bingung, kacau.
Hal ini disebabkan oleh
pengaruh rajas. Karena pengaruh ini , pikiran mempu mewujudkan semua objek dan
mengarahkannya pada kebajikan, pengetahuan, dan sebagainya. Ini merupakan
tahap pemusatan pikiran pada suatu
objek, namun sifatnya sementara, sebab akan disusul lagi oleh kekuatan pikiran.
4.
Ekarga artinya terpusat.
Di sini, Citta terhapus dari cemarnya rajas
sehingga sattva lah yang menguasai
pikiran. Ini merupakan awal pemusatan pikiran pada suatu objek yang
memungkinkan ia mengetahui alamnya yang sejati sebagai persiapan untuk
menghentikan perubahan-perubahan pikiran.
5.
Niruddha artinya terkendali
Dalam tahap ini, berhentilah
semua kegiatan pikiran, hanya ketenanganlah yang ada.
Ekagra dan Niruddha
merupakan persiapan dan bantuan untuk mencapai tujuan akhir, yaitu kelepasan.
Ekagra bila dapat berlangsung terus menerus, maka disebut samprajna-yoga atau meditasi yang dalam, yang padanya ada
perenungan kesadaran akan suatu objek yang terang.
Tingkatan Niruddha juga
disebut asaniprajnata-yoga, karena
semua perubahan dan kegoncangan pikiran terhenti, tiada satu pun diketahui oleh
pikiran lagi. Dalam keadaan demikian, tidak ada riak-riak gelombang kecil
sekali pun dalam permukaan alam pikiran atau citta itu. Inilah yang dinamakan
orang samadhi yoga. [36]
Ada empat macam samparjnana-yoga menurut jenis objek
renungannya. Keempat jenis itu adalah:
1.
Sawitarka ialah apabila pikiran
dipusatkan pada suatu objek benda kasar seperti arca dewa atau dewi.
2.
Sawicara ialah bila pikiran dipusatkan
pada objek yang halus yang tidak nyata seperti tanmantra.
3.
Sananda, ialah bila pikiran
dipusatkan pada suatu objek yang halus seperti rasa indriya.
4.
Sasmita, ialah bila pikiran
dipusatkan pada asmita, yaitu anasir rasa aku yang biasanya roh menyamakan
dirinya dengan ini. [37]
Tuhan dalam Ajaran Yoga
Patanjali
menerima eksistensi Tuhan (Isvara) dimana Tuhan menurutnya adalah The Perfect
Supreme Being, bersifat abadi, meliputi segalanya, Maha Kuasa, Maha Tahu, dan
Maha ada. Tuhan adalah purusa yang khusus yang tidak dipengaruhi oleh
kebodohan, egoisme, nafsu, kebencian dan takut akan kematian. Ia bebas dari
Karma, Karmaphala dan impresi-impresi yang bersifat laten.
Patanjali
beranggapan bahwa individu-individu memiliki esensi yang sama dengan Tuhan,
akan tetapi oleh karena ia dibatasi oleh sesuatu yang dihasilkan oleh
keterikatan dan karma, maka ia berpisah dengan kesadarannya tentang Tuhan dan
menjadi korban dari dunia material ini.
Tujuan
dan aspirasi manusia bukanlah bersatu dengan Tuhan, tetapi pemisahan yang tegas
antara Purusan dan Prakrti (SR, hal371). Hanya satu Tuhan. Menurut
Vijnanabhisu:
“dari
semua jenis kesadaran meditasi, bermeditasi kepada kepribadian Tuhan adalah
meditasi yang tertinggi. (SR, 372) Ada bebagai obyek yang dijadikan sebagai
pemusatan meditasi yaitu bermeditasi pada sesuatu yang ada di luar diri kita,
bermeditasi kepada suatu tempat yang ada pada tubuh kita sendiri dan yang
tertinggi adalah bermeditasi yang di pusatkan kepada Tuhan.
Kebodohan
menyatakan bahwa ada dualisme dari satu realitas yang disebut Tuhan. Ketika kebodohan
dihilangkan oleh pengetahuan maka dualisme hilang dan kesatuan penuh akan
dicapai. Ketika seseorang mengatasi kebodohan maka dualisme hilang maka ia
menyatu dengan The Perfect Single Being tetapi kesempurnaan The Single Being
itu selalu ada dan tetap tersisa sebagai sesuatu yang sempurna dan satu. Tak
ada perubahan dalam lautan, seberapa banyakpun sungai-sungai yang mengalirkan
airnya dan bermuara padanya. Ketidak berubahan adalah keadaan dasar dari
kesempurnaan.
Kesimpulan
Filasafat yoga merupakan salah
satu aliran filsafat dalam agama Hindu yang membahas tentang latihan, baik
fisik maupun mental, yang keras dan serius, agar dapat memperoleh apa yang
disebut dengan Transendensi Diri. Dalam yoga, dipercaya ada 8 tingkatan untuk
mencapai tujuan tersebut, yaitu: Disiplin moral (yama), disiplin diri (niyama),
Postur Tubuh (asana), Pengendalian
Napas (pranayama), Pengendalian
Indera (Pratyahara), Konsentrasi (Dharana), Meditasi (Dhyana), Ekstasis (Samadhi)
Sistem etika yang terdapat dalam agama Hindu, diatur dalam 2
tingkatan pertama, yaitu Disiplin moral dan Disiplin diri. Yang dibagi menjadi
sepuluh aturan: lima aturan pertama merupakan aturan yama, dan lima yang lain
merupakan aturan niyama. Disiplin
Moral atau Pengekangan Diri (Yama) terdiri atas: Tanpa kekerasan (ahimsa), Kebenaran (satya), Tidak Mencuri (Asteya),
Kesucian-Kemurnian atau mengendalikan nafsu jasmani dan nafsu asmara (brahmacarya), Ketidaktamakan
(Aparigraha). Sementara Disiplin Diri (Niyama) terdiri dari: Kesucian atau
kemurnian (shauca), Berpuas Diri (Samtosha), Askese (Tapas), Studi Teks
Spiritual (Svadhyaya), Penyerahan diri pada Tuhan (Ishwara-pranidhana).
Konsep Tuhan dalam agama
Hindu, Patanjali menerima eksistensi Tuhan (Isvara) dimana Tuhan menurutnya
adalah The Perfect Supreme Being, bersifat abadi, meliputi segalanya, Maha
Kuasa, Maha Tahu, dan Maha ada. Patanjali beranggapan bahwa individu-individu
memiliki esensi yang sama dengan Tuhan, akan tetapi oleh karena ia dibatasi
oleh sesuatu yang dihasilkan oleh keterikatan dan karma, maka ia berpisah
dengan kesadarannya tentang Tuhan dan menjadi korban dari dunia material ini.
DAFTAR PUSTAKA
·
Adiputra,
I Gede, Rudia, dkk. Tattwa Darsana.
Jakarta : Yayasan Dharma Sharati, 1990.
·
Ali,
Matius. Filsafat India: Sebuah
Pengantar Hinduisme & Buddhisme.
Tangerang : Sanggar Luxor, 2010.
·
Hadiwijono,
Harun.
Sari Filsafat
India. Jakarta : Badan Penerbit Kristen,
1971.
·
Maswinara,
I Wayan. Sistem Filsafat Hindu (Sarva
Darsana Samgraha), Surabaya : Paramita, 2006.
[1] Citta adalah konsespsi yang paling penting
dalam sistem yoga. Dianggap sebagai hasil pertama dari perkembangan Prakrti
(Alam dunia), yang meliputi Ahamkara dan Manas. Sehingga yang dimaksud dengan
ialah gabungan buddhi, ahamkara, dan manas. Di dalam citta ini, purusa (Jenis
kebenaran tertinggi/ roh), lihat Hadiwijono, Harun. Sari Filsafat India, hal.
51: Adiputra, I Gede Rudia. Tattwa Darsana, hal.59
[3] Hadiwijono, Harun. Sari Filsafat India, hal,
51
[4] Ali, Matius. Filsafat India: Sebuah Pengantar
Hinduisme dan Buddhisme, hal. 59
[5] Ali, Matius. Ibid. lihat juga: Aurobindo, Sri. The Synthesis of Yoga, hal 30-31
[6] Ali, Matius. Filsafat India: Sebuah Pengantar
Hinduisme dan Buddhisme, hal. 63, lihat juga Grimes, J. A Concise Dictionary of
Indian Philosophy, hal. 64; Yogendra, J & Vaz, J. Clement (eds.), Yoga
Today, tanpa hal., sesudah daftar isi.
[9] Hadiwijono, Harun. Sari Filsafat India, hal.
51
[10] Hadiwijono, Harun. Sari Filsafat India, hal.
52
[11] Ali, Matius. Filsafat India: Sebuah Pengantar
Hinduisme dan Buddhisme, hal. 64
[12] Ali, Matius. Ibid, hal. 65
[13] Ali, Matius. Ibid, hal.65; Satchidananda, S.Swami. The Yoga Sutras of Patanjali,
hal. 130
[14] Maswinara, I Wayan. Sistem Filsafat Hindu,
hal. 165
[15] Ali, Matius. Ibid, hal. 65; Feuerstein, G. The Yoga Tradition, hal. 325
[17]Adiputra, I GedeRudiadkk.TattwaDarsana. Hal. 62
[18]Ali, Matius. Ibid, hal. 66
[19]Ali, Matius. Ibid, hal. 66
[20]Ali, Matius. Ibid, hal. 67
[21]Ali, Matius. Ibid, hal 67
[22]Ali, Mukti. Filsafat India:
SebuahPengantarHinduismedanBuddhisme, hal. 68
[23]Ali, Mukti. Ibid,
hal. 69
[24]Ali, Mukti. Ibid,
hal. 70; Feuerstein, G. The Yoga Tradition, hal. 327
[25]Satchidananda, S. Swami. The Yoga Sutras of
Patanjali, hal. 146
[26]Ali, Mukti. Filsafat India:
SebuahPengantarHinduismedanBuddhisme, hal. 72
[27]Ali, MUkti. Ibid,
hal. 72
[31] Samapatti adalah pencapaian,
kondisi manunggal dengan objek, saran dan subjek kesadaran dalam meditasi;
savitarka berarti suatu jenis penyatuan (Samadhi) dimana pikiran terkonsentrasi
pada objek dan menginganama serta kualitasnya.
[34]Maswinara, I Wayan.SistemFIlsafat Hindu, hal.
167
[35]Adiputra, I GedeRudia, TattwaDarsana, hal 60.
[36]Adiputra, I GedeRudia.Ibid, hal. 60-61
[37]Adiputra, I GedeRudia.TattwaDarsana, hal. 61;
lihatjugaMaswinara, I Wayan.SistemFilsafat Hindu, hal. 167
artikelnya sangat menarik sekali. salam kenal, for more information about ashtanga yoga jakarta please visit http://ashtangayoga42.com
BalasHapus