A.Pendahuluan
Secara garis besar perkembangan agama
Hindu dapat dibedakan menjadi tiga tahap[1].
Tahap pertama sering disebut dengan zaman Weda, yang dimulai dengan masuknya
bangsa Arya hingga munculnya agama Buddha. Selama zaman ini juga dikenal adanya
tiga periode agama yang disebut ‘tiga periode agama besar’. Periode pertama
dikenal sebagai Agama Weda Kuno atau Weda Samhita yang
berlangsung dari sekitar abad ke-15 sampai abad ke-10 sebelum masehi. Periode
kedua dikenal sebagai Agama Brahmana di mana para pendeta sangat
berkuasa sehingga banyak sekali perubahan dalam kehidupan keagamaan, periode
ini berlangsung dari sekitar abad ke-10 sampai abad ke-6 sebelum masehi. Dan
terakhir yaitu periode ketiga yang dikenal sebagai Agama Upanishad.
Periode ini berlangsung dari sekitar abad ke-6 sampai abad ke-5 sebelum masehi
dengan ditandai oleh munculnya pemikiran-pemikiran kefilsafatan ketika bangsa
Arya menjadi pusat peradaban disekitar Sungai Gangga.
Tahap kedua adalah tahapan yang disebut
dengan zaman agama Buddha, yang mempunyai corak sangat lain jika dibanding
dengan agama Weda. Zaman agama Budhha ini diperkirakan berlangsung antara abad
ke-5 samapai abad ke-3 sebelum masehi. Dan tahap ketiga yaitu zaman setelah
agama Buddha yang dikenal dengan zaman agama Hindu. Tahap ini dimulai sejak
abad ke-3 sebelum masehi hingga sekarang.
B. Perkembangan Agama Hindu Sesudah Zaman
Buddha
Pada abad kelima sebelum masehi, agama
Buddha muncul dan berkembang dengan pesat. Dan pada abad ketiga sebelum masehi,
agama Buddha berhasil menjadi agama negeri India dan bahkan menjadi agama dunia
karena pengaruhnya saat itu mencapai hingga jauh di luar India[2].
Hal ini membuat agama Hindu terdesak, namun tidak sampai membuatnya lenyap.
Secara diam-diam dan perlahan agama Hindu mengembangkan diri dan terus
berkembang dengan cara menyesuaikan diri pada sesuatu yang dijumpainya.
Bentuk terakhir agama hindu setelah
zaman agama Buddha mewujudkan suatu campuran yang terdiri dari bermacam-macam
unsur keagamaan. Bentuk ini terutama dipengaruhi oleh keyakinan-keyakinan
bangsa Dravida.
Sumber
Keagamaan
Sumber keagamaan zaman ini terdapat
dalam kitab-kitab Purana, Wiracarita, dan Bhagawadgita[3].
a.
Kitab
Purana
Kitab-kitab
Purana (cerita kuno) berisi ikhtisar dongeng-dongeng dan petunjuk-petunjuk
keagamaan. Isi kitab ini mengandung maksud menyiarkan pengetahuan keagamaan dan
membangkitkan rasa pemujaan yang mendalam di kalangan rakyat, dengan perantara
mite-mite, cerita-cerita, dongeng-dongeng, dan pencatatan sejarah kebangsaan
yang besar. Ada lima hal yang umumnya dibicarakan dalam kitab ini, yaitu:
1. Sarga
atau penciptaan alam semesta
2. Pratisarga atau
peleburan alam semesta dan penciptaannya kembali
3. Zaman-zaman pemerintahan Manu (Manwantara)
4. Wamsa atau silsilah kuno
5. Sejarah keturunan raja-raja kuno (Wamsanucharita)
Selain
mengajarkan tentang proses penciptaan alam semesta, peleburan, dan
penciptaannya kembali, kitab Purana juga mengajarkan tiga dewa terpenting dalam
agama hindu, yakni:
1. Brahma
Dewa ini digambarkan
memiliki empat kepala dan dipandang sebagai pencipta dunia.
2. Wisnu
Dewa ini digambarkan
memiliki empat tangan berwarna hitam yang masing-masing memegang kulit kerang,
cakra, gada, dan bunga teratai sekaligus mengendarai seekor burung garuda. Dewa
Wisnu dipandang sebagai pemelihara alam semesta, sehingga sering meninggalkan
surganya untuk membinasakan kejahatan dan meneguhkan kebajikan dengan cara
‘menitis’. Dewa Wisnu disinyalir pernah menitis sebagai Rama yang membinasakan
Rawana dan sebagai Kresna yang membinasakan Kaurowa.
3. Siwa
Dewa ini digambarkan
sebagai mata-mata yang selalu hadir di tempat-tempat yang mengerikan, misalnya
di medan pertempuran dan tempat pembakaran mayat.
Ia mengenakan kalung
dari tengkorak dan senantiasa dikelilingi roh-roh jahat. Selain dipandang
sebagai perusak alam semesta, namun dewa ini digambarkan sebagai pertama yang
ulung, dan disembah sebagai tuhan tari-tarian (Nataraja), serta disembah
sebagai Guru.
Ketiga dewa tersebut
disembah sebagai Trimurti yang baru dikenal umum pada sekitar abad ke-5.
a. Kitab Wiracarita
Kepustakaan
yang terkandung dalam kitab ini hanya ada dua, yakni Ramayana dan Mahabharata
yang merupakan dua buah syair kepahlawanan. Keduanya berisi cerita tentang
perbuatan-perbuatan mulia yang dilakukan oleh pahlawan-pahlawan kebangsaan yang
besar. Cerita ini bermaksud menggambarkan cara menerapkan hukum-hukum Smrti pada
keadaan yang konkret di dalam kehidupan nyata.
1. Ramayana
Syair ini ditulis oleh
Walmiki. Isinya menceritakan tentang Rama, putra raja di Ayodya, yang bersedia
dibuang selama 14 tahun demi kepentingan adiknya. Dalam pengembaraan, istrinya
–Sita- diculik oleh Rawana, raja di Langka, namun akhirnya dapat direbut
kembali melalui perantaraan balatentara kera.
2. Mahabharata
Bagian pertama kitab
ini ditulis oleh Wyasa. Kitab ini berisi cerita tentang peperangan besar untuk
memperebutkan negara Hastina antara Kaurawa dan Pandawa, keturunan Dhrtarasta
dan Pandu, anak Wyasa. Dan berkat pertolongan Kresna, Pandawalah yang menang
dan mewarisi Hastina.
b. Kitab Bhagawadgita
Bhagawadgita
berarti nyanyian Tuhan, dan kitab ini berupaya mewujudkan salah satu bagian
Mahabharata. Isi pokok kitab ini membicarakan tentang pebincangan anatara
Kresna dengan Arjuna pada awal perang Bharatayuddha.
Pokok
ajaran yang terkandung dalam kitab ini ialah mengenai ‘jalan kelepasan’. Baik
benda/prakrti maupun jiwa/purusa berasal dari Tuhan. Jiwa terpenjara dalam
tubuh sehingga dipengaruhi berbagai macam perbuatan benda. Tugas manusia ialah
berusaha agar jiwa dapat ‘lepas’ dan kembali kepada asalnya, yaitu Tuhan. Ada
tiga jalan kelepasan yang diajarkan, yakni:
1. Jnana-marga,
yaitu jalan kelepasan melalui pengetahuan akan kebenaran yang tertinggi.
2. Bakti-marga,
yaitu jalan kelepasan melalui kasih dan pemujaan kepada purusa yang tertinggi.
3. Karma-marga,
yaitu jalan kelepasan dengan menaklukan kehendak sendiri kepada tujuan Tuhan.
Ketiga
jalan kelepasan ini sama-sama menuju satu tujuan, yaitu kelepasan. Kelepasan
terdiri dari persekutuan jiwa dengan Jiwa Yang Tertinggi, yaitu menyaksikan,
mengalami, dan menghayati hidup ilahi. Persekutuan ini disebut berada di dalam
Brahman, tak bersaksi, dan sebagainya.
c. Kitab Agama
Kitab-kitab
agama adalah kitab-kitab yang menguraikan tentang dewa-dewa dan bagaimana cara
memuja serta menyembahnya. Kitab ini juga disebut sebagai kitab Tantra. Istilah
tantra sendiri berarti apa yang menjadikan pengetahuan yang disebarkan. Penulis
kitab ini tidak dikenal. Kitab Agama ini mengandung pokok ajaran yang
membicarakan lima hal, yakni penciptaan alam semesta, peleburan alam semesta,
penyembahan dewa-dewa, jalan mencapai kesaktian, dan persekutuan dengan zat
yang tertinggi.
Aliran
keagamaan
Pada
zaman sesudah agama Buddha, dengan bersumber kepada kitab-kitab yang bermacam-macam
muncullah beberapa aliran/mazhab yang menurut pokok ajarannya dapat dibedakan
menjadi:
1. Mazhab Wisnu
Pada umumnya, yang
disembah oleh pengikut mazhab ini ialah dewa Wisnu, atau istrinya, atau juga
salah satu di antaranya. Pengikut mazhab Wisnu ini memberikan tanda kasta pada
dahi mereka, yaitu tiga garis tegak lurus yang dibuat dari abu. Ajaran mazhab
ini lebih condong kepada bakti (penyerahan diri), bukan pada Jnana atau
pengetahuan. Sehingga mereka lebih menghargai hidup yang dianggap sebagai
sesuatu yang suci dan patut dinikmati.
2. Mazhab Siwa
Para pengikut mazhab
ini menyembah dewa Siwa yang biasanya disandingkan dengan permaisurinya, yakni
Parwati. Dewa Siwa dianggap sebagai dewa bagi kelahiran kembali. Bentuk yang
paling terkenal untuk menyembah Siwa dalam fungsi ini ialah Lingga, simbol yang
berbentuk kelamin laki-laki. Lingga ini ditempatkan di kuil-kuil untuk
disembah.
Pokok ajaran mazhab ini
memandang bahwa Jnana/ pengetahuan adalah jalan kelepasan yang lebih pasti
daripada bakti. Sekalipun bakti juga mempengaruhi mazhab ini.
3. Mazhab Sakta
Yang disebut sakta
ialah penyembah sakti, yaitu tenaga ilahi Tuhan. Sakti biasanya diwujudkan
dalam satu perwujudan, misalnya sebagai Kali, Durga, Tara, Kamala, dan
sebagainya. Sakti juga memiliki banyak aspek, namun dua yang paling penting
diantaranya ialah sebagai ibu-ilahi dan sebagai dewi yang mengerikan.
Selain
ketiga aliran keagamaan di atas, masih ada sebuah bentuk kepercayaan (agama)
yang saat itu berkembang di tengah-tengah masyarakat. Aliran keagamaan tersebut
dikenal sebagai Agama Rakyat[4].
Agama
rakyat ialah suatu campuran antara animisme dengan segala sistem keagamaan yang
ada. Selain menyembah roh nenek moyang dan roh lainnya, rakyat juga menyembah
segala macam dewa yang ada, binatang yang dijadikan kendaraan dewa, maupun
binatang dan tumbuhan suci lainnya.
1. Pemujaan dewa sehari-hari
Ada tiga macam dewa
yang biasanya disembah, yaitu Gramadewata (dewa desa/kota), Kuladewata (dewa
keluarga), dan Istadewata (dewa perorangan). Pemujaan dewa yang pertama
dilakukan dikuil desa atau kota, dan dewa kedua biasanya dipuja di tempat suci
yang disediakan khusus dihalaman rumah atau paling tidak dengan memiliki patung
dewa tersebut yang disimpan di dalam peti dan nanti dikeluarkan jika akan
disembah, sedangkan dewa ketiga biasanya ditemaptkan di kamar pribadi atau di
dalam peti kecil yang dapat dibawa kemana-mana.
2. Pemujaan pada binatang
Sejak zaman dulu,
penganut Hindu sering menyendiri ke hutan guna bersemedi, ini membuat mereka
dekat dengan penghuni hutan dan binatang-binatang serta menghargai
keberadaannya. Dalam kesusastraan India binatang-binatang memiliki peranan
penting, terutama pada zaman Ramayana yang disitu dianggap sebagai titisan
dewa-dewa.
Ada beberapa binatang
yang dipuja oleh mereka, diantaranya kera yang dianggap sebagai titisan dewa
dan makhluk sorgawi yang setia membantu Rama, ular yang yang raja ular
berkepala seribu merupakan ranjang Wisnu dan Siwa pun menjadikan ular sebagai
perhiasan untuk menghias dirinya, dan beberapa binatang dianggap sebagai
kendaraan para dewa, seperti lembu jantan yang dianggap sebagai kendaraan Siwa,
garuda sebagai kendaraan Wisnu, merak sebagai kendaraan Dewi Saraswati, angsa
sebagai kendaraan Brahma, tikus sebagai kendaraan Ganesa, singa sebagai
kendaraan Durga, kerbau sebagai kendaraan Yama, gajah sebagai kendaraan Indra,
dll.
3. Pemujaan pada tumbuh-tumbuhan
Contoh tumbuhan yang
dipuja seperti pohon tulis (semacam teratai) yang dianggap sebagai titisan
Laksmi, pohon bayan (sejenis ara), dll.
4. Pemujaan kepada roh jahat
Selain dewa, penganut
hindu juga menyembah dan memuja roh-roh jahat, seperti raksasa dan asura yang
dipandang suka membinasakan dan suka meminum darah manusia, dan roh orang mati.
5. Tempat ziarah
Bagi penganut hindu,
berziarah ke tempat-tempat suci merupakan perbuatan yang membawa pahaya besar.
Beberapa kota yang dianggap suci diantaranya Benares, Mathura, Orissa, dan yang
lainnya.
C.Kesimpulan
Agama
Hindu merupakan agama yang paling tua yang dianut oleh sebagian masyarakat
dunia sejak dahulu kala. Agama ini mengalami tiga tahapan dalam perkembangannya
kemudian, yaitu tahap pertama dikenal sebagai zaman agama weda yang juga dibagi
menjadi tiga periode utama, periode kedua dikenal sebagai zaman agama hindu
yang berlangsung sekitar selama dua abad dan terakhir dikenal sebagai zaman
agama Hindu atau zaman setelah agama Budha yang dimulai sejak abad ketiga
sebelum masehi hingga sekarang.
Perkembangan
agama Hindu pada tahap ketiga ini memang sempat mengalami ‘kemunduran’ karena
terdesak oleh agama Budha yang berkembang sangat pesat saat itu. Namun dengan
perlahan tapi pasti, agama Hindu -dengan kemampuan ‘beradaptasi’nya- dapat
bangkit kembali sehingga bentuk agama inipun pada masa itu mewujudkan campuran
yang ‘unik’, karena dipengaruhi oleh berbagai macam unsur keagamaan. Ada tiga
kitab suci yang menjadi sumber keagamaan pada masa itu, yaitu kitab Purana,
Wiracarita, dan Baghawadgita.
D.Daftar Pustaka
Basuki,
A. Singgih dan Romdhon, dkk. 1988. Agama-Agama di Dunia. Yogyakarta:
IAIN Sunan Kalijaga Press.
Hadiwijono,
Harun. 2010. Agama Hindu dan Buddha. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia
Ali,
Matius. 2010. Filsafat India: Sebuah Pengantar Hinduisme dan Buddhaisme.
Jakarta: Sanggar Luxor.
0 komentar:
Posting Komentar