Vaishesika dan
Nyaya Darsana bersesuaian dalam prinsip pokok mereka, seperti sifat dan
hakekat sang Diri dan teori atom alam semesta, dan dikatakan pula bahwa Vaishesika
merupakan tambahan dari filsafat Nyaya, yang memiliki analisa pengalaman
sebagai obyektif utamanya.
Jika ke empat sistem pemikiran India lainnya (samkhya, yoga,
purva-mimamsa, dan vedanta) adalah bersifat spekulatif, dalam
arti bahwa mereka menjelaskan alam semesta sebagai satu kesatuan menyeluruh,
maka sistem Nyaya-vaishesika mewakili tipe filsafat analitis serta
menjunjung tinggi akal sehat dan sains. Ciri khas sistem nyaya adalah
penggunaan metode sebagai sains, yakni pemeriksaan logis dan kritis.
Sistem Nyaya dan Vaishesika mengambil pengertian
dasar filsafat tradisional tentang ruang, waktu, sebab, materi, pikiran, jiwa
dan pengetahuan, mengeksplorasi arti bagi pengalaman dan menyusun hasilnya
menjadi sebuah teori tentang alam semesta. Bagian yang logis dan fisik menjadi
ciri utama dalam tradisi Nyaya-Vaishesika. Sistem Nyaya
menjelaskan mekanisme pengetahuan secara mendetail serta berargumen melawan
skeptisisme yang menyatakan bahwa tidak ada yang pasti. Sedangkan sistem Vaishesika
memiliki tujuan untuk menganalisis pengalaman.
Vaishesika yang merupakan salah satu aliran filsafat
India yang tergolong ke dalam Sad Darsana agaknya lebih tua dibandingkan
dengan filsafat Nyaya. Waisesika muncul pada abad ke-4 SM, dengan
tokohnya ialah Kanada (Ulaka).[1] Sistem ini juga dikenal sebagai Aulukya
darsana dan juga dengan nama Kasyapa dan dianggap seorang Deva-rsi.(I
Wayan Maswinara, 2006 : 142)
Buku karyanya adalah Waisesika-Sutra yang merupakan sumber
dari dengan Nyaya, sehingga banyak para filosof menyebutnya Nyaya-Waisesika.
Tujuan pokok Vaishesika bersifat metafisis. Isi pokok ajarannya menerangkan tentang Dharma, yaitu apa yang memberikan
kelepasan yang menentukan.[2]
Sistem filsafat vaisesika
mengambil nama dari kata Visesa yang artinya kekhususan,
yang merupakan ciri-ciri pembeda dari benda-benda. Jadi pokok
permasalahan yang diuraikan didalamnya adalah
kekhususan Padartha atau
kategori yang nanti akan disebutkan secara lebih terperinci.(I Wayan Maswinara,
2006 : 141)
Sistem filsafat ini terutama dimaksudkan untuk menetapkan tentang Padartha
, tetapi rsi Kanada membuka pokok permasalahan dengan sebuah pengamatan
tentang intisari dari Dharma, yang merupakan sumber dari pengetahuan inti
dari Padartha. Sutra pertama berbunyi : ”YATO BHYUDAYANIHSREYASA
SIDDHIH SA DHARMAH” – artinya, Dharma adalah yang memuliakan dan memberikan
kebaikan tertinggi atau Moksa (penghentian dari penderitaan).
Padartha ,
secara harfiah artinya adalah : arti dari sebuah kata ; tetapi di sini padartha
adalah satu permasalahan benda dalam filsafat. Sebuah Padartha merupakan
suatu objek yang dapat dipikirkan (artha) dan diberi nama (Pada).
Semua yang ada, yang dapat di amati dan di namai, yaitu semua objek pengalaman
adalah Padartha. Benda-benda majemuk saling bergantung dan sifatnya
sementara, sedangkan benda-benda sederhana sifatnya abadi dan bebas.
Padartha dan
Vaisesika darsana, seperti yang disebutkan oleh rsi Kanada
sebenarnya hanya 6 buah kategori, namun satu katagori ditambahkan oleh
penulis-penulis berikutnya, sehingga akhirnya berjumlah 7 katagori (padartha),[3]
yaitu :
1.
Substansi (drawya).
Substansi adalah zat yang ada dengan sendirinya dan bebas dari
pengaruh unsur-unsur lain. Namun unsur lain tidak dapat ada tanpa substansi.
Substansi (drawya) dapat menjadi sebab yang melekat pada apa yang
dijadikannya. Atau drawya dapat menjadi tidak ada pada apa yang dihasilkannya.
Contoh : tanah sebagai substansi telah terdapat pada periuk yang terjadi dari
tanah.
Jadi tanah itu selalu dan telah ada pada apa yang dihasilkannya,
sedangkan periuk itu tidak dapat terjadi tanpa substansi (tanah). Demikian pula
halnya kategori lain tidak dapat ada tanpa substansi (zat) seperti :beraneka
ragam minuman tidak dapat terjadi tanpa air (zat cair), tapi air dapat ada
walaupun tidak adanya bermacam-macam minuman.
Ada sembilan substansi yang dinyatakan oleh Waisesika yaitu : (1)
Tanah (prthivi); (2) Air (apah, jala); (3) Api (tejas); (4) Udara (vayu);
(5) Ether (akasha); (6) Waktu (kala); (7) ruang (dik); (8)
diri (atman); (9) pikiran (manas). Semua substansi tersebut diatas
riel, tetap dan kekal. Namun hanya udara, waktu, akasa bersifat tak terbatas. Kombinasi
dari sembilan itulah membentuk alam semesta beserta isinya menjadikan
hukum-hukumnya yang berlaku terhadap semua yang ada di alam ini baik bersifat physik
maupun yang bersifat rohaniah.
Adapun yang termasuk substansi badani (physik) adalah : bumi, air,
api, udara, ruang, waktu dan akasa. Sedang yang tergolong substansi rohaniah
terdiri dari akal (manas/pikiran), diri (atman/jiwa). Kedua substansi rohaniah
ini bersifat kekal dan pada setiap mahluk (manusia) hanya terdapat satu jiwa
dan satu manas. Demikianlah pribadi (diri/atma) itu bersifat individu dan
menjadi sumber kesadaran setiap mahluk yang senantiasa berhubungan dengan
kegiatan badani (physik). Setiap pribadi (atma) memiliki manas tersendiri yang
dipakai sebagai alat untuk mengenal dan mengalami segala sesuatu melalui alat
physik termasuk juga dipakai sebagai alat untuk mencapai kebebasan. Namun di
lain pihak manas juga diakui dapat menyebabkan kelahiran kembali.
Oleh karena setiap mahluk (manusia) di jiwai oleh pribadi
(jiwa/atma). Maka pandangan Waisesika terhadap jiwa adalah riil dan pluralis,
yaitu jiwa itu benar-benar ada dan tak terbatas jumlahnya.
2.
Kualitas (guna).
Guna ialah keadaan atau sifat dari suatu substansi. Guna
sesungguhnya nyata dan terpisah dari benda (substansi) namun tidak dapat
dipisahkan secara mutlak dari substansi yang diberi sifat.[4]
Guna atau sifat-sifat atau ciri-ciri dari substansi yang jumlahnya
ada 24, yaitu : (1) warna (rupa) ; (2) rasa (rasa); (3) bau (gandha); (4)
sentuhan/raba (sparsa); (5) jumlah (samkhya); (6) ukuran (parimana); (7)
keaneragaman (prthaktva); (8) persekutuan (samyoga); (9) keterpisahan
(vibhaga); (10) keterpencilan (paratva); (11) kedekatan (aparatva); (12) bobot
(gurutva); (13) kecairan/keenceran (dravatva); (14) kekentalan (sneha); (15)
suara (sabda); (16) pemahaman/pengetahuan (buddhi/jnana); (17) kesenangan
(sukha); (18) penderitaan (dukha); (19) kehendak (iccha); (20)
kebencian/keengganan (dvesa); (21) usaha (prayatna); (22) kebajikan/manfaat
(dharma); (23) kekurangan/cacat (adharma); dan (24) sifat pembiakan sendiri
(samskara). Sejumlah 8 sifat yaitu : buddhi/jnana, iccha, dvesa, sukha,
dukha, dharma, adharma dan prayatna merupakan milik dari roh,
sedangkan 16 lainnya merupakan milik dari substansi material.[5]
3.
Aktifitas (karma).
Karma mewakili berbagai jenis gerak (movement) yang berhubungan
dengan unsur dan kualitas, namun juga memiliki realitas mandiri.[6]
Tidak semua substansi (zat) dapat bergerak. Hanya substansi yang
bersifat terbatas saja dapat bergerak atau mengubah tempatnya. Sedangkan
substansi yang tak terbatas (atma, hawa nafsu dan akasa) tidak dapat bergerak
karena telah memenuhi segala yang ada.
Gerakan-gerakan dari benda-benda di alam ini bukan bersumber dari
dirinya, melainkan ada sesuatu yang berkesadaran yang menjadi sumber gerakan
itu. Benda-benda hanya dapat menerima gerakan dari sesuatu yang berkesadaran.
Bila terlihat kenyataan yang terjadi di alam ini seperti adanya hembusan angin,
peredaran bumi dan planet-planet, maka tentu ada sumber penggerak yang
adikodrati. Sumber yang adikodrati itulah Tuhan.
Karena Tuhan sebagai sumber gerakan alam ini, maka Tuhan Maha
mengetahui segala gerak dan perilaku benda-benda di alam ini. Termasuk
mengetahui benar perilaku (karma) manusia.
Ada 5 macam gerak, yaitu : (1) Utksepana (gerakan ke atas);
(2) Avaksepana (gerakan ke
bawah); (3) A-kuncana (gerakan membengkok); (4) Prasarana
(gerakan mengembang); (5) Gamana (gerakan menjauh atau mendekat).[7]
4.
Universalia (samanya).
Samanya, bersifat umum yang menyangkut 2 permasalahan, yaitu
: (i) sifat umum yang lebih tinggi dan lebih rendah (ii) jenis kelamin dan
spesies.[8]
Dalam epistemologi, hal ini mirip dengan
konsep universalia dan agak mirip dengan idenya Plato. Ia ada dalam
semua dan dalam masing-masing objek, namun tidak berbeda dalam objek partikular
yang berbeda. Karena nya ide ‘kesapian’ adalah tunggal dan tidak dapat
dianalisis. Ide itu selalu hidup, tetapi tidak dapat dimengerti melalui dirinya
sendiri, namun hanya melalui seekor ‘sapi’ khusus. Walaupun tampak bersama,
namun ‘sapi’ dan ‘kesapian’ dipahami sebagai dua entitas berbeda. Dari
universalia-universalia ini, ‘Ada’ (Being, Satta) adalah yang tertinggi,
karena ia memberikan ciri pada banyak sekali entitas.[9]
5. Individualitas (visesa).
Kategori ini menunjukkan ciri atau sifat
yang membedakan sebuah objek dari objek lainnya. Sistem Vaishesika
diturunkan dari kata ‘Visesha’, dan merupakan aspek objek yang mendapat
penekanan khusus dari para filsuf Vaishesika.
Kategori ini berurusan dengan ciri-ciri khusus ke sembilan substansi (dravyas).
Dalam sistem Vaishesika, unsur tanah, air, api, udara, dan pikiran
dibangun dari atom (paramanu), sedangkan eter, ruang, waktu dan jiwa
dianggap sebagai substansi sangat khusus tanpa dimensi atau visibilitas.[10]
6. Hubungan Niscaya (samavaya).
Dimensi objek ini menunjukkan hakikat
hubungan yang mungkin antara kualitas-kualitasnya yang inheren. Hubungan ini
dapat dilihat bersifat sementara (samyoga) atau permanen (samavaya).
Samyoga adalah hubungan sementara seperti antara sebuah buku dan tangan
yang memegangnya. Hubungan selesai ketika buku dilepaskan dari tamgan. Di sisi
lain, samavaya adalah sebuah hubungan yang tetap dan hanya berakhir
ketika salah satu di antara keduanya dihancurkan. Ada lima jenis hubungan yang tetap dan
entitas yang tetap atau tidak terpisahkan ini (ayuta-siddha):
(i)
Hubungan keseluruhan dengan bagian-bagiannya, seperti
sehelai kain dan benang-benangnya.
(ii)
Hubungan kualitas dengan objek yang memilikinya,
seperti kendi air dan warna merahnya.
(iii)
Hubungan antara tindakan dan pelakunya, seperti
tindakan melompat dan kuda yang melakukannya.
(iv)
Hubungan antara partikular dengan yang universal,
ibarat satu jenis sapi dengan seekor sapi atau bangsa jepang dan seorang
jepang.
(v)
Hubungan antara substansi kekal dan substansi khusus.
Menurut sistem Vaishesika, partikel subatomis (paramanu) setiap
substansi abadi memiliki ciri-ciri khusus yang tidak membiarkan atom dari satu
substansi bercampur dengan atom substansi lainnya. Ciri khusus (Visesha)
dipertahankan oleh partikel subatomis masing-masing melalui ‘hubungan tak
terpisahkan’ (samavaya).[11]
7. Penyangkalan, Negasi, Non-Eksistensi (abhava).
Kategori ini menunjukkan sebuah objek yang
telah terurai atau larut ke dalam partikel subatomis terpisah melalui pelarutan
universal (mahapralaya) dan ke dalam ketiadaan (nothingness). Semua
benda-benda yang ada dan bernama digolongkan sebagai bhava, sedangkan
entitas yang sudah tidak ada digolongkan sebagai abhava. Sebenarnya
kategori ini bukan merupakan sebuah klasifikasi seperti kategori lainnya, namun
hanya modus pengaturan negatif.
Abhava, yang
merupakan kategori ke 7, ada 4 macam, yaitu :
(i)
Pragabhava, yaitu ketidak adaan dari suatu benda
sebelumnya ; contohnya : ketidak adaan periuk sebelum dibuat oleh pengrajin
periuk.
(ii)
Dhvansabhava, yaitu
penghentian keberadaan, misalnya periuk
yang dipecahkan; dimana dalam pecahan periuk itu tak ada periuk.
(iii)
Atyantabhava, atau
ketidak adaan timbal balik, seperti misalnya udara yang dari dulu tidak pernah
berwarna atau pun berbentuk.
Ketiga
ketidak adaan ini disebut sebagai Samsarga-bhava, yaitu ketidak adaan suatu
benda dalam benda yang lain.
(iv)
Anyonyabhava, atau
ketidak adaan mutlak , dimana antara benda yang satu sama sekali tidak ada
persamaannya dengan yang lain, seperti sebuah periuk yang tidak sama dengan
sepotong pakaian, demikian pula sebaliknya.[12]
[1] Yayasan Dharma Sarathi. TATTWA
DARSANA , hal. 30.
[2] Hadiwijono, H. Sari Filsafat
India , hal. 58.
[3] Maswinara, I Wayan. Sistem Filsafat Hindu (Sarva Darsana Samgraha),
hal. 143.
[4] Yayasan Dharma Sarathi Jakarta.Tattwa Darsana, hal. 32.
[5] Maswinara, I Wayan. Sistem Filsafat Hindu (Sarva Darsana Samgraha),
hal.143-144.
[6] Ali, Matius. Filsafat India : sebuah pengantar Hinduisme &
Buddhisme, hal. 36.
[9] Hiriyanna, M. Outline of Indian Philosophy,
hal.233.
[11] Ali, Matius. ibid, hal. 38.
0 komentar:
Posting Komentar