Jumat, 16 November 2012

FILSAFAT WAISESIKA; 7 UNSUR ALAM



Vaishesika dan Nyaya Darsana bersesuaian dalam prinsip pokok mereka, seperti sifat dan hakekat sang Diri dan teori atom alam semesta, dan dikatakan pula bahwa Vaishesika merupakan tambahan dari filsafat Nyaya, yang memiliki analisa pengalaman sebagai obyektif utamanya.
Jika ke empat sistem pemikiran India lainnya (samkhya, yoga, purva-mimamsa, dan vedanta) adalah bersifat spekulatif, dalam arti bahwa mereka menjelaskan alam semesta sebagai satu kesatuan menyeluruh, maka sistem Nyaya-vaishesika mewakili tipe filsafat analitis serta menjunjung tinggi akal sehat dan sains. Ciri khas sistem nyaya adalah penggunaan metode sebagai sains, yakni pemeriksaan logis dan kritis.
Sistem Nyaya dan Vaishesika mengambil pengertian dasar filsafat tradisional tentang ruang, waktu, sebab, materi, pikiran, jiwa dan pengetahuan, mengeksplorasi arti bagi pengalaman dan menyusun hasilnya menjadi sebuah teori tentang alam semesta. Bagian yang logis dan fisik menjadi ciri utama dalam tradisi Nyaya-Vaishesika. Sistem Nyaya menjelaskan mekanisme pengetahuan secara mendetail serta berargumen melawan skeptisisme yang menyatakan bahwa tidak ada yang pasti. Sedangkan sistem Vaishesika memiliki tujuan untuk menganalisis pengalaman.
Vaishesika  yang merupakan salah satu aliran filsafat India yang tergolong ke dalam Sad Darsana agaknya lebih tua dibandingkan dengan filsafat Nyaya. Waisesika muncul pada abad ke-4 SM, dengan tokohnya ialah Kanada (Ulaka).[1]  Sistem ini juga dikenal sebagai Aulukya darsana dan juga dengan nama Kasyapa dan dianggap seorang Deva-rsi.(I Wayan Maswinara, 2006 : 142)
Buku karyanya adalah Waisesika-Sutra yang merupakan sumber dari dengan Nyaya, sehingga banyak para filosof  menyebutnya Nyaya-Waisesika.
Tujuan pokok Vaishesika bersifat metafisis.  Isi pokok ajarannya menerangkan tentang  Dharma, yaitu apa yang memberikan kelepasan yang menentukan.[2]
Sistem  filsafat vaisesika mengambil nama dari kata Visesa yang artinya  kekhususan,  yang merupakan ciri-ciri pembeda dari benda-benda. Jadi pokok permasalahan yang diuraikan didalamnya adalah  kekhususan  Padartha atau kategori yang nanti akan disebutkan secara lebih terperinci.(I Wayan Maswinara, 2006 : 141)
Sistem filsafat ini terutama dimaksudkan untuk menetapkan tentang Padartha , tetapi rsi Kanada membuka pokok permasalahan dengan sebuah pengamatan tentang intisari dari Dharma, yang merupakan sumber dari pengetahuan inti dari Padartha. Sutra pertama berbunyi : ”YATO BHYUDAYANIHSREYASA SIDDHIH SA DHARMAH” – artinya, Dharma adalah yang memuliakan dan memberikan kebaikan tertinggi atau Moksa (penghentian dari penderitaan).
Padartha , secara harfiah artinya adalah : arti dari sebuah kata ; tetapi di sini padartha adalah satu permasalahan benda dalam filsafat. Sebuah Padartha merupakan suatu objek yang dapat dipikirkan (artha) dan diberi nama (Pada). Semua yang ada, yang dapat di amati dan di namai, yaitu semua objek pengalaman adalah Padartha. Benda-benda majemuk saling bergantung dan sifatnya sementara, sedangkan benda-benda sederhana sifatnya abadi dan bebas.
Padartha dan Vaisesika darsana, seperti yang disebutkan oleh rsi Kanada sebenarnya hanya 6 buah kategori, namun satu katagori ditambahkan oleh penulis-penulis berikutnya, sehingga akhirnya berjumlah 7 katagori (padartha),[3] yaitu :
1.      Substansi (drawya).
Substansi adalah zat yang ada dengan sendirinya dan bebas dari pengaruh unsur-unsur lain. Namun unsur lain tidak dapat ada tanpa substansi. Substansi (drawya) dapat menjadi sebab yang melekat pada apa yang dijadikannya. Atau drawya dapat menjadi tidak ada pada apa yang dihasilkannya. Contoh : tanah sebagai substansi telah terdapat pada periuk yang terjadi dari tanah.
Jadi tanah itu selalu dan telah ada pada apa yang dihasilkannya, sedangkan periuk itu tidak dapat terjadi tanpa substansi (tanah). Demikian pula halnya kategori lain tidak dapat ada tanpa substansi (zat) seperti :beraneka ragam minuman tidak dapat terjadi tanpa air (zat cair), tapi air dapat ada walaupun tidak adanya bermacam-macam minuman.
Ada sembilan substansi yang dinyatakan oleh Waisesika yaitu : (1) Tanah (prthivi); (2) Air (apah,  jala); (3) Api (tejas); (4) Udara (vayu); (5) Ether (akasha); (6) Waktu (kala); (7) ruang (dik); (8) diri (atman); (9) pikiran (manas). Semua substansi tersebut diatas riel, tetap dan kekal. Namun hanya udara, waktu, akasa bersifat tak terbatas. Kombinasi dari sembilan itulah membentuk alam semesta beserta isinya menjadikan hukum-hukumnya yang berlaku terhadap semua yang ada di alam ini baik bersifat physik maupun yang bersifat rohaniah.
Adapun yang termasuk substansi badani (physik) adalah : bumi, air, api, udara, ruang, waktu dan akasa. Sedang yang tergolong substansi rohaniah terdiri dari akal (manas/pikiran), diri (atman/jiwa). Kedua substansi rohaniah ini bersifat kekal dan pada setiap mahluk (manusia) hanya terdapat satu jiwa dan satu manas. Demikianlah pribadi (diri/atma) itu bersifat individu dan menjadi sumber kesadaran setiap mahluk yang senantiasa berhubungan dengan kegiatan badani (physik). Setiap pribadi (atma) memiliki manas tersendiri yang dipakai sebagai alat untuk mengenal dan mengalami segala sesuatu melalui alat physik termasuk juga dipakai sebagai alat untuk mencapai kebebasan. Namun di lain pihak manas juga diakui dapat menyebabkan kelahiran kembali.
Oleh karena setiap mahluk (manusia) di jiwai oleh pribadi (jiwa/atma). Maka pandangan Waisesika terhadap jiwa adalah riil dan pluralis, yaitu jiwa itu benar-benar ada dan tak terbatas jumlahnya.
2.      Kualitas (guna).
Guna ialah keadaan atau sifat dari suatu substansi. Guna sesungguhnya nyata dan terpisah dari benda (substansi) namun tidak dapat dipisahkan secara mutlak dari substansi yang diberi sifat.[4]
Guna atau sifat-sifat atau ciri-ciri dari substansi yang jumlahnya ada 24, yaitu : (1) warna (rupa) ; (2) rasa (rasa); (3) bau (gandha); (4) sentuhan/raba (sparsa); (5) jumlah (samkhya); (6) ukuran (parimana); (7) keaneragaman (prthaktva); (8) persekutuan (samyoga); (9) keterpisahan (vibhaga); (10) keterpencilan (paratva); (11) kedekatan (aparatva); (12) bobot (gurutva); (13) kecairan/keenceran (dravatva); (14) kekentalan (sneha); (15) suara (sabda); (16) pemahaman/pengetahuan (buddhi/jnana); (17) kesenangan (sukha); (18) penderitaan (dukha); (19) kehendak (iccha); (20) kebencian/keengganan (dvesa); (21) usaha (prayatna); (22) kebajikan/manfaat (dharma); (23) kekurangan/cacat (adharma); dan (24) sifat pembiakan sendiri (samskara). Sejumlah 8 sifat yaitu : buddhi/jnana, iccha, dvesa, sukha, dukha, dharma, adharma dan prayatna merupakan milik dari roh, sedangkan 16 lainnya merupakan milik dari substansi material.[5]
3.      Aktifitas (karma).
Karma mewakili berbagai jenis gerak (movement) yang berhubungan dengan unsur dan kualitas, namun juga memiliki realitas mandiri.[6]
Tidak semua substansi (zat) dapat bergerak. Hanya substansi yang bersifat terbatas saja dapat bergerak atau mengubah tempatnya. Sedangkan substansi yang tak terbatas (atma, hawa nafsu dan akasa) tidak dapat bergerak karena telah memenuhi segala yang ada.
Gerakan-gerakan dari benda-benda di alam ini bukan bersumber dari dirinya, melainkan ada sesuatu yang berkesadaran yang menjadi sumber gerakan itu. Benda-benda hanya dapat menerima gerakan dari sesuatu yang berkesadaran. Bila terlihat kenyataan yang terjadi di alam ini seperti adanya hembusan angin, peredaran bumi dan planet-planet, maka tentu ada sumber penggerak yang adikodrati. Sumber yang adikodrati itulah Tuhan.
Karena Tuhan sebagai sumber gerakan alam ini, maka Tuhan Maha mengetahui segala gerak dan perilaku benda-benda di alam ini. Termasuk mengetahui benar perilaku (karma) manusia.
Ada 5 macam gerak, yaitu : (1) Utksepana (gerakan ke atas); (2) Avaksepana (gerakan  ke bawah); (3) A-kuncana (gerakan membengkok); (4) Prasarana (gerakan mengembang); (5) Gamana (gerakan menjauh atau mendekat).[7]
4.      Universalia (samanya).
Samanya, bersifat umum yang menyangkut 2 permasalahan, yaitu : (i) sifat umum yang lebih tinggi dan lebih rendah (ii) jenis kelamin dan spesies.[8]                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                 
Dalam epistemologi, hal ini mirip dengan konsep universalia dan agak mirip dengan idenya Plato. Ia ada dalam semua dan dalam masing-masing objek, namun tidak berbeda dalam objek partikular yang berbeda. Karena nya ide ‘kesapian’ adalah tunggal dan tidak dapat dianalisis. Ide itu selalu hidup, tetapi tidak dapat dimengerti melalui dirinya sendiri, namun hanya melalui seekor ‘sapi’ khusus. Walaupun tampak bersama, namun ‘sapi’ dan ‘kesapian’ dipahami sebagai dua entitas berbeda. Dari universalia-universalia ini, ‘Ada’ (Being, Satta) adalah yang tertinggi, karena ia memberikan ciri pada banyak sekali entitas.[9]
5.      Individualitas (visesa).
Kategori ini menunjukkan ciri atau sifat yang membedakan sebuah objek dari objek lainnya. Sistem Vaishesika diturunkan dari kata ‘Visesha’, dan merupakan aspek objek yang mendapat penekanan khusus dari para filsuf  Vaishesika. Kategori ini berurusan dengan ciri-ciri khusus ke sembilan substansi (dravyas). Dalam sistem Vaishesika, unsur tanah, air, api, udara, dan pikiran dibangun dari atom (paramanu), sedangkan eter, ruang, waktu dan jiwa dianggap sebagai substansi sangat khusus tanpa dimensi atau visibilitas.[10]

6.      Hubungan Niscaya (samavaya).
Dimensi objek ini menunjukkan hakikat hubungan yang mungkin antara kualitas-kualitasnya yang inheren. Hubungan ini dapat dilihat bersifat sementara (samyoga) atau permanen (samavaya). Samyoga adalah hubungan sementara seperti antara sebuah buku dan tangan yang memegangnya. Hubungan selesai ketika buku dilepaskan dari tamgan. Di sisi lain, samavaya adalah sebuah hubungan yang tetap dan hanya berakhir ketika salah satu di antara keduanya dihancurkan.  Ada lima jenis hubungan yang tetap dan entitas yang tetap atau tidak terpisahkan ini (ayuta-siddha):
(i)                 Hubungan keseluruhan dengan bagian-bagiannya, seperti sehelai kain dan benang-benangnya.
(ii)               Hubungan kualitas dengan objek yang memilikinya, seperti kendi air dan warna merahnya.
(iii)             Hubungan antara tindakan dan pelakunya, seperti tindakan melompat dan kuda yang melakukannya.
(iv)             Hubungan antara partikular dengan yang universal, ibarat satu jenis sapi dengan seekor sapi atau bangsa jepang dan seorang jepang.
(v)               Hubungan antara substansi kekal dan substansi khusus. Menurut sistem Vaishesika, partikel subatomis (paramanu) setiap substansi abadi memiliki ciri-ciri khusus yang tidak membiarkan atom dari satu substansi bercampur dengan atom substansi lainnya. Ciri khusus (Visesha) dipertahankan oleh partikel subatomis masing-masing melalui ‘hubungan tak terpisahkan’ (samavaya).[11]

7.      Penyangkalan, Negasi, Non-Eksistensi (abhava).
Kategori ini menunjukkan sebuah objek yang telah terurai atau larut ke dalam partikel subatomis terpisah melalui pelarutan universal (mahapralaya) dan ke dalam ketiadaan (nothingness). Semua benda-benda yang ada dan bernama digolongkan sebagai bhava, sedangkan entitas yang sudah tidak ada digolongkan sebagai abhava. Sebenarnya kategori ini bukan merupakan sebuah klasifikasi seperti kategori lainnya, namun hanya modus pengaturan negatif.
Abhava, yang merupakan kategori ke 7, ada 4 macam, yaitu :
(i)                 Pragabhava,  yaitu ketidak adaan dari suatu benda sebelumnya ; contohnya : ketidak adaan periuk sebelum dibuat oleh pengrajin periuk.
(ii)               Dhvansabhava, yaitu penghentian keberadaan, misalnya periuk  yang dipecahkan; dimana dalam pecahan periuk itu tak ada periuk.
(iii)             Atyantabhava, atau ketidak adaan timbal balik, seperti misalnya udara yang dari dulu tidak pernah berwarna atau pun berbentuk.
Ketiga ketidak adaan ini disebut sebagai Samsarga-bhava, yaitu ketidak adaan suatu benda dalam benda yang lain.
(iv)              Anyonyabhava, atau ketidak adaan mutlak , dimana antara benda yang satu sama sekali tidak ada persamaannya dengan yang lain, seperti sebuah periuk yang tidak sama dengan sepotong pakaian, demikian pula sebaliknya.[12]


[1]   Yayasan Dharma Sarathi. TATTWA DARSANA , hal. 30.
[2]  Hadiwijono, H. Sari Filsafat India , hal. 58.
[3] Maswinara, I Wayan. Sistem Filsafat Hindu (Sarva Darsana Samgraha), hal. 143.
[4] Yayasan Dharma Sarathi Jakarta.Tattwa Darsana, hal. 32.
[5] Maswinara, I Wayan. Sistem Filsafat Hindu (Sarva Darsana Samgraha), hal.143-144.
[6] Ali, Matius. Filsafat India : sebuah pengantar Hinduisme & Buddhisme, hal. 36.
[7] Maswinara, I Wayan. Ibid, hal. 144.
[8] Maswinara, I Wayan. Ibid, hal. 144.
[9] Hiriyanna, M. Outline of Indian Philosophy, hal.233.
[10] Ali, Matius. Ibid, hal. 37.
[11] Ali, Matius. ibid, hal. 38.
[12] Maswinara, I Wayan. Ibid, hal. 144-145.
  

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts