Aliran
Wasistadwaita dan pemikiran tokohnya
Aliran
Dwaita dan pemikiran tokohnya
Pemecahan sangkara terhadap persoalan
yang di timbulkan Upanisad yaitu bahwa Brahman, di satu pihak di anggap sama
dengan jiwa perorangan dan dengan dunia, akan tetapi di lain pihak di
bedakanya, ternyata belum memuaskan segala pihak. Pembedaan sangkara antar
Brahman yang tidak bersifat, dan Brahman yang bersifat (Nirguna dan Saguna
Brahman) belum dapat di terima oleh semua golongan. Setelah jaman sankara
timbul lah perdebatan tentang Brahman, yaitu apakah Brahman harus di pandang
sebagai tanpa sifat (Nirguna) atau sebagai sifat (Saguna).[1]
Pemecahan yang lain diberikan oleh
Ramanuja (1050-1137). Ia berusaha mempersatukan ajaran sekte Wisnu dengan
filsafat Wedanta. Ramanuja menulis buku berjudul Sri Bhasya dan menulis komentar tentang Bhagawadgita. Aliranya di
sebut dengan Wasistadwaita. Wasistadwaita berasal dari kata Wasista dan dwaita.
Wasista berarti “yang di terangkan” atau “yang di tentukan” yaitu oleh
sifat-sifatnya. Jadi Brahman yang satu itu diberi keterangan oleh
sifat-sifatnya.[2]
Cara Ramanuja menjelaskan pandanganya
itu adalah dengan mempergunakan “cara orang memakai bahasa” pada umumnya. Di
dalam kenyataan sehari-hari kita sering mengidentikkan hal-hal yang sebenarnya
berbeda; umpamanya Mawar adalah merah. Mawar
adalah Subtansi, sedangkan merah adalah suatu sifat. Jadi keduanya tidaklah
sama. Akan tetapi kita menguraikanya seolah-olah keduanya itu sama: “mawar
adalah merah” suatu teladan yang lain. Dimana kita menyamakan dua hal yang
berbeda ialah di dalam ucapan: “aku seorang laki-laki”. Aku adalah jiwa yang
hidup sedangkan orang laki-laki adalah bentuk yang fana. Oleh karena itu
keduanya tidaklah sama, namun di identikkan juga. Ucapan-ucapan seperti yang
terdapat pada kedua contoh ini memang tidak dapat di kenakan kepada orang dan pakaian atau orang dan tongkat
sebagainya. Tidak dapat dikatakan “orang itu adalah pakaian dan sebagainya.
Akan tetapi dapat dikatakan bahwa “orang itu memiliki pakaian” atau orang itu
memiliki tongkat.
Dengan
demikian jelaslah bahwa:
a) Hubungaan
antara “Mawar” dan “Merah” serta “Aku” dan “Seorang laki-laki” berbeda dengan
hubungan antara “orang dengan pakaian atau tongkat”. Pada contoh yangpertama
hubungan kedua unsur itu lebih erat antara mawar dan merah dibandingkan dengan
orang dan pakaian atau orang dengan tongkat.
b) Bahwa
hubungan yang terdapat pada orang dan pakaian atau tongkat itu hanya mewujudkan
suatu penggabungan belaka.
Hubungan yang terdapat antara
“Mawar dan Merah” antara “aku dan orang laki-laki” adalah merupakan hubungan
yang tidak dapat dipisahkan, kalau pada “Mawar dan merah” merupakan hubungan
subtansi dan sifat, sedangkan hubungan antara ”aku dengan orang laki-laki”
adalah hubungan subtansi rohani dan subtansi badaniah (jiwa dan tubuh = aku dan
laki-laki). Hal ini menyatakan bahwa kata yang pertama dinyatakan oleh kata
yang kedua (mawar diterangkan oleh merah, jiwa diterangkan oleh laki-laki).
Keduanya tidak bisa dipisahkan hubunganya (parthak siddhi). Dengan demikian
pula halnya hubungan antara Brahman dengan jiwa dan Brahman dengan dunia, hubungan
antara dua subtansi yakni yang satu rohani dan yang satu lagi badani. Baik jiwa
maupun dunia tidak dapat digambarkan lepas dari pada Brahman. Hubungan antara
Brahman dan jiwa sama dengan hubungan antara jiwa dengan badan manusia.
Demikian juga ubungan antara Brahman dan dunia. Brahman adalah jiwanya dunia,
yang sekaligus menjiwao jiwa manusia. Ketiganya dapat di gambarkan sebagai dua
lingkaran yang berpusat satu. Pusatnya adalah Brahman, sedangkan jiwa adalah
lingkaran yang kecil, dan dunia adalah lingkaran yang kecil, dan dunia adalah
lingkaran yang besar, yang berada diluar. Jikalau demikian, maka dapat
dikatakan ketiga-tiganya, Brahman jiwa dan dunia adalah sama-sama nyata (riil)
namun tidak sama, tidak identik, tidak ada pada dataran yang sama, seperti
halnya dengan jiwa dan badan manusia adalah sama-sama nyata (riil) namun tidak
identik.[3]
Kesimpulanya adalah bahwa Brahman, jiwa
dan manusia memang berbeda, tetapi tidak dapat dipisah-pisahkan, sekalian
tiga-tiganya adalah kekal. Tekanan diletakkan pada: berbeda tetapi berhubungan
yang erat sekali.
Ajaran Adwaita menekankan bahwa
tidak dualisme, sebab Brahman adalah satu. Di dalam Wasistadwaita di tekankan
bahwa yang satu itu diterangkan atau di tentukan oleh sifat-sifatnya, Brahman
yang tunggal itu menjelma dalam jiwa dan manusia serta menjiwai kedua-duanya.
Pendirian yang demikian itu diterapkan kepada segala ucapan, umpamanya
disebutkan; “bunga teratai biru” ini adalah merupakan satu kesatuan, yabg
terdiri dari;
a) Subtansi
benda yaitu bunga.
b) Penguraiannya
dengan kedua kualitas yang berbeda keadaannya dengan subtansi tadi, yaitu
kualitas, “kebiruan” dan “keterataian”, semua ini sangat bergantungan, unsur
yang kedua bergantung kepada unsur yang pertama secara tak terpisahkan. Ketiga
unsur itu berada secara simultan atau pada waktu bersamaan.
Suatu contoh yang lain, jika
melihat seorang jejaka, disebut “itu orang”. Orang tersebut dua puluh tahun
yang lalu adalah bayi. Jadi jejaka dahulu bayi sekarang sudah jejaka, tetapi
orangnya sama. Hal ini menunjukkan jiwa yang semula menjelma pada bayi itu
sekarang menjelma pada jejaka. Jiwanya adalah satu. Disini ketiga unsur; jiwa,
bayi dan jejaka, saling bergantungan, dan bahkan berada pada waktu yang
bersamaan, melainkan waktu yang berurutan.[4]
Kesimpulanya ialah baik yang
dijelmakan maupun yang dikwalifisir adalah sama, sedangkan unsur yang
menjelmakan atau yang mengkwalisir berbeda, sekalipun tidak dapat dipisahkan.
Dasar pemikir Ramanuja banyak yang memberi pujian dalam hal pemecahan masalah
Wasistadwaita ini, sebab secara formal memang memecahkan kesukaran-kesukaran
yang di timbulkan upanisad, yaitu bahwa disatu pihak Brahman dibedakan dengan
jiwa dan dunia tetapi di lain pihak
disamakan juga.
Ramanuja berpendapat; “Memang benar
Brahman berbeda dengan jiwa dan berbeda dengan dunia” tetapi dia juga
mengatakan “Memang benar Brahman sama dengan jiwa dan sama dengan dunia
ketigannya tidak dapat dipisahkan. sekalipun demikian perlu dipersoalkan apakah
pemisahan ini sehat ? sekalipun ada unsure-unsur kebenaran dalam pandangan
Ramanuja ini akan tetapi sukar untuk di anggap sebagai sosok dengan keseluruhan
ajaran Upanisad. Unsur-unsur kebenarannya adalah:
a) Tuhan
atau Brahman berbeda dengan jiwa dan berbeda dengan dunia.
b) Tuhan
adalah pengawas dan tidak ada akhir-akhirnya yang berbeda dalam jiwa dan
didalam dunia ini.
Mengenai kategori-kategori
diajarkan, bahwa ada dua kategori yaitu: subtansi dan yang bukan subtansi yaitu
kualitas atau sifat.
Yang dimaksud dengan subtansi
adalah apa yang mengalami perubahan. Sekalipun Ramanuja mengajarkan adannya
enam subtansi namun yang akan di bicarakan disini hanya tiga saja yang menjadi
pembicaraan yang penting.
4.
Dwaita
Aliran
ini menganggap dirinya sama tuanya dengan Upanisad, tidak ada yang dapat
menentukan apakah anggapan itu benar ? yang jelas ialah orang yang terkenal
atau sebagai tokoh yang terkenal atau sebagai tokoh aliran ini adalah madhwa (1199-1278), jika kita perhatikan
dari masa kehidupan para tokoh aliran wedanta ini, madhwa yang paling muda.[5]
Dwaita mula-mula berpengaruh
dibagian barat india, akan tetapi kemudian pengaruhnya menjalar kebagian yang
lebih luas. Madhwa sangat berpengaruh pada saat itu sehingga dikenal sebagi Purnaprajna artinya: orang yang telah mendapat fikiran yang
sempurna. Madhwa juga di panggil oleh orang tuanya dengan nama Wasudewa. Hasil karyannya yang
gterkenal ialah komentar atas kitab-kitab
Upanisad. Atas kitab Bhagawadgita
dan Wedanta – sutra serta beberapa
tulisan lainya.
Sistim ? Wedanta seperti yang
dianjurkan oleh Madhwa disebut Dwaita (dualis)
sebab menurut Madhwa pokok-pokok ajaran filsafatnya adalah perbedaan (bheda).
Sistim ini disebut juga realistis karena mengakui bahwa dunia ini nyata bukan
maya. Akhirnya sistim ini juga bersifat theitis, karena menerima adanya Tuhan
yang pribadi sebagai satu-satunya kenyataan yang berdiri sendiri (swatantra)
dengan kata lain Madhwa mengakui/percaya. Dengan adanya manifestasi dari Tuhan
yang beraneka ragam.[6]
Dasar ajaran Madhwa adalah mengakui
adanya kenyataan yang beraneka ragam di dunia ini, semua mampu mempunyai cirri
dan sifat tersendiri, sehingga menimbulkan perbedaan-perbedaan. Pada prinsipnya
perbedaan itu adalah segala sesuatu yang mempunyai wujud tersendiri. Umpama;
sapi sendirinya berbeda dengan kambing. Menyebut sapi dengan sendirinya
menunjuk perbedaannya dengan kambing dan sebaliknya, menyebut kambing dengan
sendirinya menunjuk kepada perbedaan kambing dengan sapi. Oleh karena itu
sebenarnya orang tidak mampu mengetahui du hal sekaligus, guna untuk
mengetahui perbedaan kedua itu demikian
pula halnya dengan filsafat tidak mampu membedakan sekaligus, tanpa mengenal
satu persatu terlebih dahulu.
Menurut Madhwa di dunia ini ada
lima macam perbedaan yaitu:
1) Perbedaan
antara Tuhan dengan Jiwa,
2) Perbedaan
antara Jiwa dengan Jiwa yang lainya,
3) Perbedaan
antara Tuhan dengan benda
4) Perbedaan
antara Jiwa dengan benda,
5) Perbedaan
antara benda yang satu dengan benda yang lainya.
Semua itu berbeda berbeda secara mutlak, sekalipun
perbedaan itu tidak berarti bahwa semua itu tidak saling bergantungan
umpamannya; tubuh bergantung dari pada jiwa, sekalipun keduannya sangat berbeda
sekali. Hanya ada satu hal yang tidak bergantung pada hal yang lain yaitu
adalah Tuhan, tetapi sebaliknya yang lainya bergantung pada Tuhan.
Tuhan , jiwa dan benda ketigannya
sama-sama kekal adannya, sekalipun demikian hanya Tuhan yang merdeka dan bebas,
yang bergantung pada siapapun dan apapun. Tuhan adalah kenyataan yang tertinggi
dan memiliki sifat-sifat yang kaya sekali. Walaupun tuhan dapat di mengerti,
akan tetapi Tuhan tidaak dapat dikenal oleh umat secara menyeluruh dan secara
sempurna. Tuhan yang berhakekat-kan pengetahuan dan kegirangan itu adalah suatu
pribadi, yang memiliki suatu kepribadian yang mutlak.
Menurut Madhwa bahwa didunia ini
ada banyak jiwa yang tidak terhingga jumlahnya. Tiap jiwa berbeda dengan jiwa
yang lain. Itulah sebabnya tiap orang memiliki pengalaman sendiri-sendiri,
memiliki cacat sendiri, memiliki sengsara sendiri, dan seterusnya. Jiwa-jiwa
itu berbentuk atom akan tetapi karena dipengaruhi oleh ikatan duniawi (nafsu)
maka jiwa ini ikut menderita atau bahagia, padahal sebenarnya jiwa itu kekal
dan abadi penuh kebahagiaan. Oleh karena di bungkus oleh karma wesana maka jiwa-jiwa itu ikut menderita,
sengsara dan pada saatnya akan kembali
numitis ke dunia ini.[7]
Secara umum dijelaskan bahwa jiwa
yang ada didunia ini mempunyai tingkatan-tingkatan yaitu:
a) Jiwa-jiwa
yang bebas secara kekal (nitya), seperti umpamannya Laksmi, istri atau sakti
Wisnu,
b) Jiwa-jiwa
yang telah mencapai kelepasan dari
sengsara (mukta) yaitu para Dewata, para Rsi dan nenek moyang yang telah
mendapat kelepasan,
c) Jiwa-jiwa
yang terbelenggu (baddha), oleh segala papa dan dosa, jiwa terbelenggu ini ada
dua kelompok yaitu:
1) Jiwa-jiwa
yang masih dibebaskan (mukti yogya),
2) Jiwa-jiwa
yang tidak dapat dilepaskan lagi, ini terdiri dari dua jenis juga yaitu:
I.
Jiwa yang untuk
selamanya terikat akan hukum samsara.
II.
Jiwa-jiwa yang
terus diikat oleh hukum samsara yang lebih rendah yakni jiwa yang dilahirkan
menjadi jenis yang lebih rendah, hal ini tergantung pada jenis papa dan dosa
yang dideritanya.
Ajaran Dwaita tentang proses
terjadinya pengetahuan pada umumnya sama dengan ajaran Nyaya dan Waisesika,
akan tetapi ajaranya tentang pengetahuan itu sendiri ada bedannya. Menurut
Dwaita pengetahuan adalah suatu bentuk dari alat-alat (manas), sehinnga
pengetahuan itu bersifat pada manas, bukan pada pribadi manusia. Namun dalam
proses pengetahuan itu sendiri manusialah yang menjadi pelakunnya, sebab
pribadi manusialah yang memprakarsai proses itu, sehingga ada hubungan antara
pribadi manusia dan pengetahuan yang timbul.
Pengetahuan yang benar adalah
pengetahuan yang sesuai dengan kenyataan yang ada di luar manusia. Pengetahuan
yang salah juga memiliki obyeknya. Adapun obyeknya ialah “apa yang tidak ada”
(asat). Hal ini diterangkan demikian; orang memiliki seutas tali sebagai seekor
ular (kenyataannya tidak benar). Aliran Nyaya – Waisesika mengajarkan, bahwa
ular itu ada, sekalipun bukan di tempat itu, melainkan di tempat lain. Dwaita
berpendapat, bahwa ular itu tidak ada, baik di tempat itu, maupun di tempat
lain. Kesalahan pengetahuan itu adalah bahwa apa yang tidak ada di sangka ada.
Obyek pengetahuan yang salah memang tidak ada secara kenyataan, hanya bayangan
saja yang menyebutkan ada seperti melihat ular, padahal tidak ada ular yang ada
hanya tali saja,. Orang-orang pada umumnya bingung, menyangka yang sesungguhnya
tidak ada dikatakan ada; hal ini di sebabkan oleh kegelapan pikiran manusia
yang disebut dengan Awidya.
Kesimpulan
Berdasarkan uraiaan tersebut di
atas dapatlah disimpulkan materi pokok yang di uraikan dalam filsafat Wedanta
antara lain mengenai; Brahman, Atman/Jiwa dan Dunia. Pandangan terhada masalah
ini timbul bermacam-macam pendapat sehingga menimbulkan aliran-aliran filsafat
Wedanta.
1. Aliran
Wasistadwaita, dipelopori oleh Ramanuja yang mengajarkan bahwa di samping
Brahman itu Nirguna Brahman, Jiwa dan dunia memang ketigannya berbeda dan
sama-sama kekal, tetapi tidak dapat di pisahkan, merupakan satu-kesatuan
organis. Brahman menciptakan dunia ini betul-betul pernama melalui prakerti
Brahman. Tujuan hidup menurut Ramanuja adalah untuk mencap[ai alam Narayana,
menikmati kebebasan dan kebahagiaan yang sempurna.
2. Aliran
Dwaita dipelopori oleh Madhwa, pokok ajaranya adalah perbedaan (bheda),
mengakui kenyataan yang beraneka ragam di dunia ini dengan cirri dan sifat
tersendiri, sehingga menimbulkan perbedaan. Dengan jiwa dan berbeda pula dengan
dunia, sebab semuannya mempunyai ciri dan sifat tersendiri, tetapi semuanya
saling bergantungan; dunia bergantung kepada Jiwa, Jiwa bergantung pada Brahman
tetapi bukan sebaliknya. Tujuan hidup menurut Madhwa adalah untuk melepaskan
diri dari segala keterikatan dengan jalan meninggalkan Awidya (kebodohan).
Daftar
Pustaka
Ali,
Matius. Filsafat India (Pebuah Pengantar Hiduisme dan Hinduisme). Tangerang :
Sanggar Luxor, 2010.
Ali,
Mukti. Agama-agama Dunia, Yogyakarta : IAIN Sunan Kalijaga press, 1988.
Hadiwijono,
Harun, Sari filsafat india, Jakarta: Gunung Mulia, 1989
Honig,
ilmu agama, Jakarta: Gunung Mulia, 2009
Suarjaya
I Wayan, yayasan Dharma sarathi, Jakarta. Tahun 1990.
Hiriyanna,
M. outlines of Idian Philosophy, Lodon : George Allen & Unwi Ltd., 1964.
0 komentar:
Posting Komentar