Jumat, 16 November 2012

FILSAFAT WEDANTA




Aliran Wasistadwaita dan pemikiran tokohnya
Aliran Dwaita dan pemikiran tokohnya
Pemecahan sangkara terhadap persoalan yang di timbulkan Upanisad yaitu bahwa Brahman, di satu pihak di anggap sama dengan jiwa perorangan dan dengan dunia, akan tetapi di lain pihak di bedakanya, ternyata belum memuaskan segala pihak. Pembedaan sangkara antar Brahman yang tidak bersifat, dan Brahman yang bersifat (Nirguna dan Saguna Brahman) belum dapat di terima oleh semua golongan. Setelah jaman sankara timbul lah perdebatan tentang Brahman, yaitu apakah Brahman harus di pandang sebagai tanpa sifat (Nirguna) atau sebagai sifat (Saguna).[1]
Pemecahan yang lain diberikan oleh Ramanuja (1050-1137). Ia berusaha mempersatukan ajaran sekte Wisnu dengan filsafat Wedanta. Ramanuja menulis buku berjudul Sri Bhasya dan menulis komentar tentang Bhagawadgita. Aliranya di sebut dengan Wasistadwaita. Wasistadwaita berasal dari kata Wasista dan dwaita. Wasista berarti “yang di terangkan” atau “yang di tentukan” yaitu oleh sifat-sifatnya. Jadi Brahman yang satu itu diberi keterangan oleh sifat-sifatnya.[2]
Cara Ramanuja menjelaskan pandanganya itu adalah dengan mempergunakan “cara orang memakai bahasa” pada umumnya. Di dalam kenyataan sehari-hari kita sering mengidentikkan hal-hal yang sebenarnya berbeda; umpamanya Mawar adalah merah. Mawar adalah Subtansi, sedangkan merah adalah suatu sifat. Jadi keduanya tidaklah sama. Akan tetapi kita menguraikanya seolah-olah keduanya itu sama: “mawar adalah merah” suatu teladan yang lain. Dimana kita menyamakan dua hal yang berbeda ialah di dalam ucapan: “aku seorang laki-laki”. Aku adalah jiwa yang hidup sedangkan orang laki-laki adalah bentuk yang fana. Oleh karena itu keduanya tidaklah sama, namun di identikkan juga. Ucapan-ucapan seperti yang terdapat pada kedua contoh ini memang tidak dapat di kenakan kepada orang dan pakaian atau orang dan tongkat sebagainya. Tidak dapat dikatakan “orang itu adalah pakaian dan sebagainya. Akan tetapi dapat dikatakan bahwa “orang itu memiliki pakaian” atau orang itu memiliki tongkat.
Dengan demikian jelaslah bahwa:
a)      Hubungaan antara “Mawar” dan “Merah” serta “Aku” dan “Seorang laki-laki” berbeda dengan hubungan antara “orang dengan pakaian atau tongkat”. Pada contoh yangpertama hubungan kedua unsur itu lebih erat antara mawar dan merah dibandingkan dengan orang dan pakaian atau orang dengan tongkat.
b)      Bahwa hubungan yang terdapat pada orang dan pakaian atau tongkat itu hanya mewujudkan suatu penggabungan belaka.
Hubungan yang terdapat antara “Mawar dan Merah” antara “aku dan orang laki-laki” adalah merupakan hubungan yang tidak dapat dipisahkan, kalau pada “Mawar dan merah” merupakan hubungan subtansi dan sifat, sedangkan hubungan antara ”aku dengan orang laki-laki” adalah hubungan subtansi rohani dan subtansi badaniah (jiwa dan tubuh = aku dan laki-laki). Hal ini menyatakan bahwa kata yang pertama dinyatakan oleh kata yang kedua (mawar diterangkan oleh merah, jiwa diterangkan oleh laki-laki). Keduanya tidak bisa dipisahkan hubunganya (parthak siddhi). Dengan demikian pula halnya hubungan antara Brahman dengan jiwa dan Brahman dengan dunia, hubungan antara dua subtansi yakni yang satu rohani dan yang satu lagi badani. Baik jiwa maupun dunia tidak dapat digambarkan lepas dari pada Brahman. Hubungan antara Brahman dan jiwa sama dengan hubungan antara jiwa dengan badan manusia. Demikian juga ubungan antara Brahman dan dunia. Brahman adalah jiwanya dunia, yang sekaligus menjiwao jiwa manusia. Ketiganya dapat di gambarkan sebagai dua lingkaran yang berpusat satu. Pusatnya adalah Brahman, sedangkan jiwa adalah lingkaran yang kecil, dan dunia adalah lingkaran yang kecil, dan dunia adalah lingkaran yang besar, yang berada diluar. Jikalau demikian, maka dapat dikatakan ketiga-tiganya, Brahman jiwa dan dunia adalah sama-sama nyata (riil) namun tidak sama, tidak identik, tidak ada pada dataran yang sama, seperti halnya dengan jiwa dan badan manusia adalah sama-sama nyata (riil) namun tidak identik.[3]
Kesimpulanya adalah bahwa Brahman, jiwa dan manusia memang berbeda, tetapi tidak dapat dipisah-pisahkan, sekalian tiga-tiganya adalah kekal. Tekanan diletakkan pada: berbeda tetapi berhubungan yang erat sekali.
Ajaran Adwaita menekankan bahwa tidak dualisme, sebab Brahman adalah satu. Di dalam Wasistadwaita di tekankan bahwa yang satu itu diterangkan atau di tentukan oleh sifat-sifatnya, Brahman yang tunggal itu menjelma dalam jiwa dan manusia serta menjiwai kedua-duanya. Pendirian yang demikian itu diterapkan kepada segala ucapan, umpamanya disebutkan; “bunga teratai biru” ini adalah merupakan satu kesatuan, yabg terdiri dari;
a)      Subtansi benda yaitu bunga.
b)      Penguraiannya dengan kedua kualitas yang berbeda keadaannya dengan subtansi tadi, yaitu kualitas, “kebiruan” dan “keterataian”, semua ini sangat bergantungan, unsur yang kedua bergantung kepada unsur yang pertama secara tak terpisahkan. Ketiga unsur itu berada secara simultan atau pada waktu bersamaan.
Suatu contoh yang lain, jika melihat seorang jejaka, disebut “itu orang”. Orang tersebut dua puluh tahun yang lalu adalah bayi. Jadi jejaka dahulu bayi sekarang sudah jejaka, tetapi orangnya sama. Hal ini menunjukkan jiwa yang semula menjelma pada bayi itu sekarang menjelma pada jejaka. Jiwanya adalah satu. Disini ketiga unsur; jiwa, bayi dan jejaka, saling bergantungan, dan bahkan berada pada waktu yang bersamaan, melainkan waktu yang berurutan.[4]
Kesimpulanya ialah baik yang dijelmakan maupun yang dikwalifisir adalah sama, sedangkan unsur yang menjelmakan atau yang mengkwalisir berbeda, sekalipun tidak dapat dipisahkan. Dasar pemikir Ramanuja banyak yang memberi pujian dalam hal pemecahan masalah Wasistadwaita ini, sebab secara formal memang memecahkan kesukaran-kesukaran yang di timbulkan upanisad, yaitu bahwa disatu pihak Brahman dibedakan dengan jiwa  dan dunia tetapi di lain pihak disamakan juga.
Ramanuja berpendapat; “Memang benar Brahman berbeda dengan jiwa dan berbeda dengan dunia” tetapi dia juga mengatakan “Memang benar Brahman sama dengan jiwa dan sama dengan dunia ketigannya tidak dapat dipisahkan. sekalipun demikian perlu dipersoalkan apakah pemisahan ini sehat ? sekalipun ada unsure-unsur kebenaran dalam pandangan Ramanuja ini akan tetapi sukar untuk di anggap sebagai sosok dengan keseluruhan ajaran Upanisad. Unsur-unsur kebenarannya adalah:
a)      Tuhan atau Brahman berbeda dengan jiwa dan berbeda dengan dunia.
b)      Tuhan adalah pengawas dan tidak ada akhir-akhirnya yang berbeda dalam jiwa dan didalam dunia ini.

Mengenai kategori-kategori diajarkan, bahwa ada dua kategori yaitu: subtansi dan yang bukan subtansi yaitu kualitas atau sifat.
Yang dimaksud dengan subtansi adalah apa yang mengalami perubahan. Sekalipun Ramanuja mengajarkan adannya enam subtansi namun yang akan di bicarakan disini hanya tiga saja yang menjadi pembicaraan yang penting.

4. Dwaita
            Aliran ini menganggap dirinya sama tuanya dengan Upanisad, tidak ada yang dapat menentukan apakah anggapan itu benar ? yang jelas ialah orang yang terkenal atau sebagai tokoh yang terkenal atau sebagai tokoh aliran ini adalah  madhwa (1199-1278), jika kita perhatikan dari masa kehidupan para tokoh aliran wedanta ini, madhwa yang paling muda.[5]
Dwaita mula-mula berpengaruh dibagian barat india, akan tetapi kemudian pengaruhnya menjalar kebagian yang lebih luas. Madhwa sangat berpengaruh pada saat itu sehingga dikenal sebagi Purnaprajna artinya: orang yang telah mendapat fikiran yang sempurna. Madhwa juga di panggil oleh orang tuanya dengan nama Wasudewa. Hasil karyannya yang gterkenal ialah komentar atas kitab-kitab Upanisad. Atas kitab Bhagawadgita dan Wedanta – sutra serta beberapa tulisan lainya.
Sistim ? Wedanta seperti yang dianjurkan oleh Madhwa disebut Dwaita (dualis) sebab menurut Madhwa pokok-pokok ajaran filsafatnya adalah perbedaan (bheda). Sistim ini disebut juga realistis karena mengakui bahwa dunia ini nyata bukan maya. Akhirnya sistim ini juga bersifat theitis, karena menerima adanya Tuhan yang pribadi sebagai satu-satunya kenyataan yang berdiri sendiri (swatantra) dengan kata lain Madhwa mengakui/percaya. Dengan adanya manifestasi dari Tuhan yang beraneka ragam.[6]
Dasar ajaran Madhwa adalah mengakui adanya kenyataan yang beraneka ragam di dunia ini, semua mampu mempunyai cirri dan sifat tersendiri, sehingga menimbulkan perbedaan-perbedaan. Pada prinsipnya perbedaan itu adalah segala sesuatu yang mempunyai wujud tersendiri. Umpama; sapi sendirinya berbeda dengan kambing. Menyebut sapi dengan sendirinya menunjuk perbedaannya dengan kambing dan sebaliknya, menyebut kambing dengan sendirinya menunjuk kepada perbedaan kambing dengan sapi. Oleh karena itu sebenarnya orang tidak mampu mengetahui du hal sekaligus, guna untuk mengetahui  perbedaan kedua itu demikian pula halnya dengan filsafat tidak mampu membedakan sekaligus, tanpa mengenal satu persatu terlebih dahulu.
Menurut Madhwa di dunia ini ada lima macam perbedaan yaitu:
1)      Perbedaan antara Tuhan dengan Jiwa,
2)      Perbedaan antara Jiwa dengan Jiwa yang lainya,
3)      Perbedaan antara Tuhan dengan benda
4)      Perbedaan antara Jiwa dengan benda,
5)      Perbedaan antara benda yang satu dengan benda yang lainya.
Semua itu berbeda berbeda secara mutlak, sekalipun perbedaan itu tidak berarti bahwa semua itu tidak saling bergantungan umpamannya; tubuh bergantung dari pada jiwa, sekalipun keduannya sangat berbeda sekali. Hanya ada satu hal yang tidak bergantung pada hal yang lain yaitu adalah Tuhan, tetapi sebaliknya yang lainya bergantung pada Tuhan.
Tuhan , jiwa dan benda ketigannya sama-sama kekal adannya, sekalipun demikian hanya Tuhan yang merdeka dan bebas, yang bergantung pada siapapun dan apapun. Tuhan adalah kenyataan yang tertinggi dan memiliki sifat-sifat yang kaya sekali. Walaupun tuhan dapat di mengerti, akan tetapi Tuhan tidaak dapat dikenal oleh umat secara menyeluruh dan secara sempurna. Tuhan yang berhakekat-kan pengetahuan dan kegirangan itu adalah suatu pribadi, yang memiliki suatu kepribadian yang mutlak.
Menurut Madhwa bahwa didunia ini ada banyak jiwa yang tidak terhingga jumlahnya. Tiap jiwa berbeda dengan jiwa yang lain. Itulah sebabnya tiap orang memiliki pengalaman sendiri-sendiri, memiliki cacat sendiri, memiliki sengsara sendiri, dan seterusnya. Jiwa-jiwa itu berbentuk atom akan tetapi karena dipengaruhi oleh ikatan duniawi (nafsu) maka jiwa ini ikut menderita atau bahagia, padahal sebenarnya jiwa itu kekal dan abadi penuh kebahagiaan. Oleh karena di bungkus oleh karma  wesana maka jiwa-jiwa itu ikut menderita, sengsara  dan pada saatnya akan kembali numitis ke dunia ini.[7]
Secara umum dijelaskan bahwa jiwa yang ada didunia ini mempunyai tingkatan-tingkatan yaitu:
a)      Jiwa-jiwa yang bebas secara kekal (nitya), seperti umpamannya Laksmi, istri atau sakti Wisnu,
b)      Jiwa-jiwa yang telah mencapai  kelepasan dari sengsara (mukta) yaitu para Dewata, para Rsi dan nenek moyang yang telah mendapat kelepasan,
c)      Jiwa-jiwa yang terbelenggu (baddha), oleh segala papa dan dosa, jiwa terbelenggu ini ada dua kelompok yaitu:
1)      Jiwa-jiwa yang masih dibebaskan (mukti yogya),
2)      Jiwa-jiwa yang tidak dapat dilepaskan lagi, ini terdiri dari dua jenis juga yaitu:
                                                                                    I.            Jiwa yang untuk selamanya terikat akan hukum samsara.
                                                                                 II.            Jiwa-jiwa yang terus diikat oleh hukum samsara yang lebih rendah yakni jiwa yang dilahirkan menjadi jenis yang lebih rendah, hal ini tergantung pada jenis papa dan dosa yang dideritanya.
Ajaran Dwaita tentang proses terjadinya pengetahuan pada umumnya sama dengan ajaran Nyaya dan Waisesika, akan tetapi ajaranya tentang pengetahuan itu sendiri ada bedannya. Menurut Dwaita pengetahuan adalah suatu bentuk dari alat-alat (manas), sehinnga pengetahuan itu bersifat pada manas, bukan pada pribadi manusia. Namun dalam proses pengetahuan itu sendiri manusialah yang menjadi pelakunnya, sebab pribadi manusialah yang memprakarsai proses itu, sehingga ada hubungan antara pribadi manusia dan pengetahuan yang timbul.
Pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang sesuai dengan kenyataan yang ada di luar manusia. Pengetahuan yang salah juga memiliki obyeknya. Adapun obyeknya ialah “apa yang tidak ada” (asat). Hal ini diterangkan demikian; orang memiliki seutas tali sebagai seekor ular (kenyataannya tidak benar). Aliran Nyaya – Waisesika mengajarkan, bahwa ular itu ada, sekalipun bukan di tempat itu, melainkan di tempat lain. Dwaita berpendapat, bahwa ular itu tidak ada, baik di tempat itu, maupun di tempat lain. Kesalahan pengetahuan itu adalah bahwa apa yang tidak ada di sangka ada. Obyek pengetahuan yang salah memang tidak ada secara kenyataan, hanya bayangan saja yang menyebutkan ada seperti melihat ular, padahal tidak ada ular yang ada hanya tali saja,. Orang-orang pada umumnya bingung, menyangka yang sesungguhnya tidak ada dikatakan ada; hal ini di sebabkan oleh kegelapan pikiran manusia yang disebut dengan Awidya.
Kesimpulan
Berdasarkan uraiaan tersebut di atas dapatlah disimpulkan materi pokok yang di uraikan dalam filsafat Wedanta antara lain mengenai; Brahman, Atman/Jiwa dan Dunia. Pandangan terhada masalah ini timbul bermacam-macam pendapat sehingga menimbulkan aliran-aliran filsafat Wedanta.
1.      Aliran Wasistadwaita, dipelopori oleh Ramanuja yang mengajarkan bahwa di samping Brahman itu Nirguna Brahman, Jiwa dan dunia memang ketigannya berbeda dan sama-sama kekal, tetapi tidak dapat di pisahkan, merupakan satu-kesatuan organis. Brahman menciptakan dunia ini betul-betul pernama melalui prakerti Brahman. Tujuan hidup menurut Ramanuja adalah untuk mencap[ai alam Narayana, menikmati kebebasan dan kebahagiaan yang sempurna.
2.      Aliran Dwaita dipelopori oleh Madhwa, pokok ajaranya adalah perbedaan (bheda), mengakui kenyataan yang beraneka ragam di dunia ini dengan cirri dan sifat tersendiri, sehingga menimbulkan perbedaan. Dengan jiwa dan berbeda pula dengan dunia, sebab semuannya mempunyai ciri dan sifat tersendiri, tetapi semuanya saling bergantungan; dunia bergantung kepada Jiwa, Jiwa bergantung pada Brahman tetapi bukan sebaliknya. Tujuan hidup menurut Madhwa adalah untuk melepaskan diri dari segala keterikatan dengan jalan meninggalkan Awidya (kebodohan).  
 Daftar Pustaka
     Ali, Matius. Filsafat India (Pebuah Pengantar Hiduisme dan Hinduisme). Tangerang : Sanggar Luxor,     2010.
Ali, Mukti. Agama-agama Dunia, Yogyakarta : IAIN Sunan Kalijaga press, 1988.
Hadiwijono, Harun, Sari filsafat india, Jakarta: Gunung Mulia, 1989
Honig, ilmu agama, Jakarta: Gunung Mulia, 2009
Suarjaya I Wayan, yayasan Dharma sarathi, Jakarta. Tahun 1990.
Hiriyanna, M. outlines of Idian Philosophy, Lodon : George Allen & Unwi Ltd., 1964.


[1]  Yayasan Dharma Sarathi, Tattwa Sarathi, hal. 76.
[2]  Hadiwijono, Harun, Sari Filsafat Idia, hal. 13.
[3] Yayasa Dharma Sarathi, ibid, hal. 82.
[4] Honig, Ilmu Agama, hal. 102.
[5] Yayasan Dharma Sarathi, ibid, hal. 85.
6 ali, Mukti, Agama-agama Dunia, hal. 43.
[7] Hiriyanna, M. outlies of Indian philosophy, hal. 134.

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts